Bukan di Monas, Tapi Di Citangkolo
Oleh: Muhammad Sulton Fatoni (Ketua PBNU)jpnn.com, JAKARTA - Bukan di Menteng, Lapangan Banteng atau di Monas. Para kiai se-Indonesia memilih berkumpul di Dusun Citangkolo, yang terletak di Desa Kujangsari Kecamatan Langensari Kota Banjar Jawa Barat.
Menjangkau Citangkolo bukan perkara mudah. Dari Jakarta misalnya, memerlukan waktu hingga sembilan jam perjalanan darat. Namun jarak tempuh dan medan yang sulit itu justru menjadi rutinitas para kiai merajut keindonesiaan. Para kiai dari Papua, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, sudut-sudut Jawa melangkahkan kakinya menuju Citangkolo.
BACA JUGA: Sambut Baik Hasil Munas NU Soal Menolak Istilah Kafir
Pascamusyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2019, Citangkolo ini melengkapi desa-desa menyejarah yang sudah populer sebelumnya di tataran nasional gara-gara kehadiran ribuan kiai, seperti Kempek Cirebon, Bagu Lombok Tengah, Krapyak Yogyakarta, Sukorejo Situbondo, dan lainnya.
Ribuan kiai berkumpul di Citangkolo itu untuk menuntaskan beberapa problem kemasyarakatan dan kenegaraan, yang tidak jarang meliputi berbagai bidang, seperti ekonomi, sosial, politik, misalnya soal pendidikan, kesehatan, sampah plastik dan lainnya.
Problem kemasyarakatan dan kenegaraan tersebut dikaji dalam forum yang populer disebut bahtsul masail. Mula-mula para kiai mendapatkan penjelasan atas problem, selanjutnya terjadilah diskusi, perdebatan, dengan disertai ribuan literasi dan argumentasi.
Pada proses ini tidak ada dominasi argumentasi kiai tertentu, misalnya karena senioritas. Proses kajian berlangsung obyektif untuk menemukan jawaban dengan pendekatan keislaman.
Di antara hasil kajian para kiai di Citangkolo adalah keputusan terma ‘kafir’ dan ‘nonmuslim’. Pembahasan terma ‘kafir’ dan ‘nonmuslim’ ini sebagai kelanjutan dari kajian tentang terma ‘kafir’ yang sebelumnya sudah dibahas para kiai pada saat Muktamar NU tahun 1930 di Pekalongan Jawa Tengah.