Bukan Mantan PSK, Ogah Dinamai Dollicious
Ibu empat anak itu juga mengeluhkan sepinya pengunjung. ’’Tapi, kalau nggak ada yang beli, mau gimana lagi? Teman-teman tutup karena modalnya sudah habis,” imbuhnya.
Sering dalam sehari tidak ada seorang pun yang mampir. Kalau sudah begitu, makanan dagangan itu disantap sendiri atau dibagi-bagikan ke tetangga. ”Jumat kemarin (28/11) nggak ada blas yang datang. Ya sudah, saya makan bareng baksonya sama anak-anak di rumah. Sebagian juga saya kasihkan tetangga,” kata istri kuli bangunan tersebut.
Selain Sorga, beberapa perempuan yang membuka stan binaan Kecamatan Sawahan itu merasakan kondisi serupa. Nurmala, 48, misalnya. Penjual soto daging tersebut mengatakan bahwa penghasilannya menurun jika dibandingkan dengan saat kompleks lokalisasi dibuka. Meski begitu, dia tetap bersyukur bisa mendapat tempat untuk berjualan.
”Dulu saya menjual bunga untuk ngepel wisma-wisma itu. Jelas terasa lah bedanya. Ya, tapi masih untung ada yang mau ngasih tempat jualan,” ujarnya.
Perbandingan penghasilan yang mencolok sebelum dan sesudah lokalisasi ditutup memang menjadi ujian bagi mereka. Dulu, saat lokalisasi masih buka, mereka mendapat banyak pelanggan dari para penghuni wisma. Rata-rata mereka mendapat penghasilan Rp 200–300 ribu per hari.
Sekarang setelah lokalisasi ditutup, penghasilan mereka tidak menentu. Untung, mereka masih mendapat perhatian dengan diberi tempat untuk berjualan. Meski banyak ruginya, mereka mengaku tetap bersemangat untuk membuka usaha.
”Dulu saya menjual pecel, buka pagi langsung ada yang beli. Sekarang agak susah cari pembeli. Kalau ditanya soal semangat ya pasti semangat,” kata Suratmi, 50.
Penghasilan mereka memang jauh dari harapan jika dibandingkan dengan modal yang dikeluarkan. Bayangkan, untuk menyewa gerobak saja, pedagang harus mengeluarkan Rp 150 ribu per bulan.