Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Cacat Bawaan Demokrasi Tanpa Oposisi

OLeh: Pangi Syarwi Chaniago

Senin, 01 Juli 2019 – 15:35 WIB
Cacat Bawaan Demokrasi Tanpa Oposisi - JPNN.COM
Pangi Syarwi Chaniago. Foto: dokumentasi pribadi for JPNN

Bagaimana etika partai pengusung capres tersebut usai kontestasi? Contoh seperti di Amerika Serikat, partai punya “fatsun politik”, tidak ada cerita setelah presiden terpilih, yang tadinya berseberangan, lalu di tengah jalan bergabung ke koalisi presiden terpilih, apakah partai tersebut “berkeringat” memenangkan presiden terpilih? Apakah “berdarah-darah” memenangkan calon presidennya?

Kita ini ya lucu, karena alasan “mengamankan” kepentingan di parlemen, supaya tidak diganggu dan mendapat dukungan penuh di DPR, dengan harapan semua program dan kebijakan pemerintah dapat berjalan mulus di parlemen kemudian menjadi alasan merangkul partai oposisi dalam pilpres.

Memang harus kita akui, dengan sistem multipartai sekarang, tidak ada kursi partai yang dominan di atas 20 persen kursi parlemen dan 25 persen suara nasional, ini barangkali yang membuat presiden terpilih di tengah jalan harus melakukan kompromi politik dengan merangkul, mengakomodir tambahan kekuatan partai koalisi di parlemen. Sebuah konsekuensi dari sistem presidential bercita rasa “multipartai”, presiden terpilih harus ‘berkompromi’ dengan partai yang pernah menjadi lawan tandingnya dalam pilpres.

Masukan kita, apakah Gerindra bakal menerima tawaran bergabung ke koalisi pemerintah dengan “deal politik” kue kekuasaan? Sebaiknya “jangan”. Lebih banyak mudaratnya dari manfaatnya untuk partai Gerindra dan demokrasi Indonesia ke depannya.

Alasan pertama, Gerindra punya kans bisa memenangkan pemilu legislatif 2024, kalau citra pemerintah Jokowi tidak memuaskan nantinya, tidak mampu memenuhi target janji politiknya, sebab Jokowi punya asosiatif langsung terhadap PDIP, kalau Jokowi baik, PDIP juga mendapatkan dampak elektoral, namun kalau kinerja Jokowi periode kedua tidak baik, maka berpotensi mengerus/tsunami elektabilitas PDIP.

Apalagi tabiat yang ganjil dalam sejarah sistem kepartaian kita apakah ada partai berkuasa selama 3 kali berturut turut bisa memenangkan pemilu legislatif? Kedua, tentu saja Gerindra salah satu partai yang mampu mengimbangi, mengkoreksi jalannya pemerintahan, partai papan atas yang punya roh “bergaining posisition” memainkan peran oposisi.

Ketiga, saya mahfum partai pengusung utama Jokowi sedikit “keberatan” dengan bergabungnya partai PAN, partai Demokrat dan Gerindra maupun PKS, karena bisa menganggu jatah kursi menteri dan jabatan strategis lainnya, secara sederhana memantik kecemburuan dan secara etika politik pun nampak “tidak elok”. Lebih baik Gerindra puasa 5 tahun lagi, kita hakul yakin Gerindra punya momentum emas, punya kans memenangkan pemilu 2024.(***)

Penulis adalah Analis Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting

Kelompok oposisi dalam sistem demokrasi memegang peranan yang sangat penting untuk mewujudkan mekanisme checks and balances.

Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News