Capres 2024 Ditentukan Hasil 2019, Fahri: Tidak Logis!
Presiden petahana, lanjut Sirojudin, cenderung tidak bisa bekerja sama dengan presiden terpilih. Salah satu contohnya adalah periode transisi presidensial pada akhir masa kepresidenan Herbert Hoover di Amerika Serikat, sebelum dimulainya pemerintahan Franklin D. Roosevelt .
"Setelah pemilihan, Roosevelt menolak permintaan Hoover untuk pertemuan untuk menghasilkan program bersama untuk menghentikan krisis ekonomi. Hal itu, membuat krisis ekonomi makin parah," papar Sirojudin.
Periode lame duck, lanjut Sirojudin, juga bisa menimbulkan konsekuensi lunturnya pengaruh Presiden petahana di kalangan birokrasi. Inilah yang berdampak sangat serius bagi kepentingan publik.
Maka, Sirojudin mengungkapkan, ide untuk memperpendek periode lame duck patut dipertimbangkan.
"Perlu dikaji, apa dampak periode lame duck yang panjang terhadap efektivitas pemerintah dan DPR. DPR dan KPU mungkin dapat melakukan simulasi memperpendek periode lame duck," ujarnya.
Sementara Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto mengatakan, akan ada jarak waktu yang jauh antara terpilihnya Presiden baru pada Pilpres Februari 2024, dengan pelantikan Presiden pada Oktober 2024.
Hal itu diperkirakan akan berdampak pada efektivitas jalannya pemerintahan Presiden Jokowi.
Di sinilah berbagai persoalan berpotensi muncul. Ia mengungkapkan, hasil Pilpres dan Pileg akan membuat siapapun peserta kontestasi, baik partai politik maupun politisi, akan sibuk mengamankan keberlangsungan jejak politik mereka.