Cara Berpikir Rancu di Kurikulum Baru
Jumat, 18 Januari 2013 – 16:18 WIB
Nah, bagaimana mungkin mereka dibentuk cara berfikirnya dengan saitific dan teknologi itu kalau sejak dini pelajaran IPA itu diintegrasikan dengan pelajaran lain. Sementara kita tahu bahwa sains atau IPA itu berada dalam rumpun yang berbeda dengan ilmu-ilmu di mana dia diintegrasikan. Misalnya dengan Bahasa Indonesia, Agama, PPKN. Itu merupakan rumpun-rumpun ilmu pengetahuan yang secara filsafat ilmu, itu bersifat deduktif. Sementara sains adalah ilmu yang terbentuk dalam model berfikir induktif. Kalau itu diitegrasikan, maka jadi tidak match, sehingga tujuan pembelajarannya juga berbeda.
Kalaupun kurikulum perlu dikembangkan, apa sebetulnya yang harus diubah?
Saya pribadi terus terang tidak melihat ada urgensi pada perubahan kurikulum itu, tanpa mengubah pondasi dan filofosi pendidikan kita ini. Kalaupun itu ada yang harus diubah, KTSP memang sarat beban, tetapi ketika kita mau mengeluarkan beberapa mata pelajaran atau memasukkan mata pelajaran itu kan harus ada argumentasi logis yang terkait dengan filosofi tadi. Mengapa sebuah mata pelajaran kita perlukan dan mengapa sebuah mata pelajaran tidak perlu dimasukkan, itu perlu penjelasan. Tapi yang terjadi adalah kerancuan berfikir di dalam menyusun kurikulum ini. Kita ingin mengubahnya untuk keperluan masa depan yang sarat ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi kita mengeluarkan IPA dan IPA, ini kan rancu cara berfikirnya.