Cerita Para Nelayan yang Selamat dari Tsunami, Ngeri!
Topik menceritakan, sesaat sebelum tsunami menerjang, dirinya bersama nelayan lain berada di dekat Pos Citelang di kawasan Ujung Kulon. Saat itu mereka tidak tahu ada gelombang tsunami. Mereka tahunya ada ombak tinggi yang tidak biasanya.
Lima perahu pun berdekatan. Tujuannya, saling melindungi dari ombak. Lima perahu itu milik Takrudi, Sunar, Wardaya, Aspani, dan Tarmidi.
”Datangnya tsunami seperti kapal (besar yang menerjang). Gluguurr,” ujar Topik yang menirukan suara gelombang tsunami itu. Dari kejauhan terlihat putih seperti kabut atau awan. ”Pik, engkol, Pik,” kata Topik menirukan perintah Tarmidi yang juga kakak iparnya.
Dia diminta Tarmidi untuk menyalakan mesin kapal. Namun, mesin kapal itu tak mau segera berfungsi. ”Dari kamar mesin saya keluar. Saat posisi (kami) sudah di atas kapal, langsung digulung ombak,” ungkap Topik.
Kapal Srimakmur berkapasitas 4 gross tonnage yang dinaiki Topik itu diterjang ombak hingga empat kali. Tingginya 5 hingga 7 meter. Semua muatannya semburat. Kapal terguling. Lalu pecah.
Topik beruntung. Dia bisa segera naik ke permukaan dan meraih fiber penutup boks tempat penyimpanan ikan. Beberapa nelayan yang lain meraih barang seadanya untuk membantu tetap mengapung. ”Ada yang pegangan bambu,” jelas dia. Selebihnya, serpihan kayu pecahan kapal ikut menjadi penyelamat nelayan lainnya. Selama beberapa jam, mereka terombang-ambing di laut lepas. Mereka berusaha saling berdekatan agar tidak terbawa arus.
Begitu ombak mereda, Topik lantas mencari teman. Mereka berkumpul sepuluh orang. Padahal, total awak dari lima kapal itu awalnya berjumlah 20–25 orang. Sepuluh orang itu pun berenang menuju Pulau Citelang.
”Jarak daratan itu tinggal 50 meter. Tapi, butuh sekitar satu jam untuk mendekat,” ujar dia. Sebab, arus laut itu bak tarik ulur. Ombak mengarah ke darat, lalu kembali ke laut berulang-ulang. Sehingga tak mudah untuk mencapai darat.