Chef Australia Temukan Identitas Dirinya dari Memasak Rendang

Sekaligus menjadi awal dari persahabatan panjang yang kami jalani lewat makanan, sebagai salah satu mentor dan mentee dengan jarak 48 tahun di antara kami.
Sudah lama ingin memahami identitas sendiri
Saya pindah ke London beberapa tahun sebelumnya. Namun karena merasa rindu kampung halaman dan jauh dari rumah, saya ingin memahami identitas Indonesia yang saya miliki.
Dibesarkan di Sydney oleh ayah saya yang keturunan Tionghoa dan ibu saya yang berkewarganegaraan Australia, dengan masakan nenek saya, seorang Timor, yang terus saya rasakan lama sampai dewasa, membawa saya datang ke dapur milik Sri untuk belajar rendang.
Rendang, yang seringkali dianggap sebagai makanan seremonial, karena harga daging di Indonesia yang cukup mahal, biasanya disajikan saat ada tamu-tamu penting, disantap di pesta pernikahan, acara-acara khusus, dan selama Idul Fitri atau yang biasa dikenal di Indonesia sebagai Lebaran, menandai akhir bulan Ramadhan.
Belajar seninya membuat rendang
Saya dan Sri memasak rendang selama tiga jam di dapurnya, di mana saya mempelajari tiga tahap memasaknya.
Jangan pernah menyebut rendang sebagai kari yang kering, katanya kepada saya, karena rendang jauh lebih dari sekedar kari basah yang biasanya.
Setelah satu jam mendidih, rendang memasuki tahap pertama sebagai gulai, kari basah dengan kuah encer.
Satu jam kemudian, minyak terpisah dari santan, naik ke permukaan yang mendidih dengan golakan, tahapan yang disebut kalio, kari kental dan lezat, sudah dua pertiga sampai jadi rendang.