Desa di Sulawesi Mendadak jadi Kampung Orang Tiongkok
Saat berbelanja di pasar itu, para pekerja yang baru tiba dari negara asalnya biasanya akan membeli baskom untuk wadah air dan makanan. ”Karena mereka tidak mau pakai baskom bekas,” ucap Fahrudin yang punya usaha rental kendaraan.
Di pasar tersebut transaksi jual beli antara penjual dan pekerja Tiongkok lebih dominan menggunakan bahasa isyarat. Maklum, tidak semua pemilik kios bisa berbahasa Mandarin. Begitu juga sebaliknya, sangat minim pekerja asing yang bisa berbahasa Indonesia.
Di RM Hikmah milik Suminah, 42, misalnya, pekerja asing langsung menunjuk makanan yang akan dipesan.
Tidak sedikit pula pekerja asal Tiongkok yang memasak sendiri di dapur rumah makan. Selain keterbatasan bahasa, masak sendiri dilakukan pekerja asing agar cita rasa makanan yang dimakan sesuai dengan selera.
Caranya, mereka akan menunjuk bahan masakan dan alat masak yang akan diolah sendiri. Memasak biasanya dilakukan lebih dari dua pekerja. Masakan itu nanti disajikan untuk kelompok pekerja berjumlah empat hingga lima orang. ”Kalau ayam potong yang sudah cabut bulu Rp 70 ribu nanti dimasak sendiri sama mereka. Kalau satu porsi nasi bungkus Rp 17 ribu,” terang Suminah.
Untuk menentukan harga, beberapa pemilik kios sudah terbiasa menyebut angka dalam bahasa Mandarin. Untuk baskom seharga Rp 5.000, misalnya, penjual akan bilang bucet ke pekerja asal Tiongkok.
Namun, bila belum bisa berbahasa Mandarin, penjual akan menggunakan isyarat jari. Satu jari menunjukkan harga Rp 1.000, dua jari Rp 2.000, begitu seterusnya. ”Mereka juga banyak yang nawar kalau harganya kemahalan,” ujar Sungkowo, 50, warga setempat.
Pekerja asing Tiongkok di Morosi selama ini memang dikenal tertutup. Terutama soal pekerjaan dan gaji. Saat Jawa Pos mencoba berkomunikasi, mereka selalu menghindar. Mereka hanya mau menyebut nama dan daerah asal.