Di Era Digital Provokasi dan Hoaks Jadi Tantangan Demokrasi
Ditambahkan Taufiq, saat ini konten-konten bohong, hoaks, dan konten-konten yang jahat bahkan, itu tersedia di online dan banyak orang yang lalu terjebak meyakini konten-konten yang sesungguhnya tidak benar. Kenapa lalu dikonsumsi? Karena walaupun informasi itu tidak benar tapi disampaikan oleh orang baik. Ini sekarang yang banyak terjadi.
"Orang baik, dengan niat baik, tetapi, menginformasikan sesuatu yang tidak baik," ujarnya.
Dari situlah akhirnya muncul sikap-sikap yang saling bertentangan antara orang baik, tentang sesuatu yang tidak baik. Persoalannya, sekarang ini tidak ada pihak yang bisa mengontrol informasi-informasi yang ada di online.
"Pemerintah tidak berdaya, karena hari ini setiap orang bisa menjadi sumber informasi, bebas memproduksi apa saja. Ini situasi yang terjadi hari ini," tuturnya.
Kondisi ini diperparah oleh literasi digital yang rendah di masyarakat. Di mana masyarakat belum punya kemampuan untuk mendeteksi dan mengklarifikasi atau mencari mana yang benar dan mana yang salah.
"Intinya bagaimana kita sebagai bagian dari bangsa, bisa menjadi pionir-pionir yang mendamaikan. Perbedaan pilihan politik suatu hal yang wajar dalam demokrasi, tapi jangan sampai kita terlibat dalam percekcokan yang tidak perlu. Media sosial digunakan untuk hal-hal positif," kata Taufiq.
Sementara itu, praktisi Literasi Digital R Wijaya Kusumawardhana menyoroti sejumlah potensi kerawanan pemilu. Mulai dari adanya politik uang. Padahal, transaksi jual beli suara dalam pemilu dapat merusak legitimasi calon terpilih.
Fanatisme berlebih dan pragmatisme politik adalah contoh dampak dari politik uang.