Di Sekolah, Anak Dicemooh karena Kiblat Salat ke Filipina
Minggu, 13 September 2009 – 09:43 WIB
Pemerintah pun bereaksi, berbicara kepada para tokoh Islam Tua dan meminta mereka untuk tak menyebut Islam. Untuk itu, para penganut Islam Tua berada di bawah koordinasi Pakem (Penganut Aliran Kepercayaan Masyarakat). Pada 1978, Islam Tua bernaung di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Artinya jelas, Islam Tua dianggap bukan sebagai agama, tapi hanyalah sebagai salah satu "kebudayaan".
Itu direaksi keras oleh para penganut Islam Tua. "Ketika itu, kami hidup dalam ketakutan. Beberapa kali kami dipanggil koramil (komando rayon militer, Red) dan sebagainya," kenangnya. Saat itu, Hermanto pernah berdialog dengan petugas Depdikbud saat itu. "Kami bertanya, apa beda agama dan kepercayaan," urainya.
Jawaban yang diterima dari aparat sangat menyederhanakan masalah. Menurut aparat, agama mempunyai kitab suci, sedangkan kepercayaan tidak. Itu ambigu karena ada beberapa ajaran yang mempunyai kitab, tapi tak diakui sebagai agama di Indonesia. Namun, pada 1984, para penganut ajaran tersebut "menyerah" setelah sejumlah kesulitan mereka alami. Mulai pernikahan yang tak pernah dilayani oleh aparat pemerintahan (seperti akta kelahiran dan akta nikah) hingga intimidasi fisik. Karena dengan bersikap melawan justru tak ada manfaat yang diambil untuk kelangsungan hidup ajaran ini, akhirnya mereka menerima keyakinannya hanya dianggap sebagai kepercayaan, bukan agama. Pada 26 Februari 1984, Islam Tua mengubah namanya menjadi Himpunan Penghayat Kepercayaan Masade.