Di Sinilah Kenangan dan Surat-surat Kartini pada J.H. Abendanon Tersimpan Rapi
Tidak Boleh Lagi Diakses oleh Umumjpnn.com - Oleh: FEBA SUKMANA, kontributor JAWA POS (Induk JPNN) yang merupakan penulis dan pengajar bahasa Indonesia di Volksuniversiteit Rotterdam
Matahari pukul 10.00 menyambut saya di depan Stasiun Leiden Centraal. Kabut masih menggantung, tetapi alun-alun stasiun sudah ramai dengan lalu-lalang mahasiswa. Entah sudah berapa kali saya menginjakkan kaki di sini, namun hari ini tujuan saya istimewa: mengunjungi Kartini.
---
Leiden. Kota kecil di Provinsi Holland Selatan ini terkenal sebagai pusat ilmu budaya dan sejarah. Memasuki kota ini, saya disambut Museum Volkenkunde yang memamerkan beragam koleksi kebudayaan dunia.
Di seberangnya, kincir angin De Valk berdiri tegak di samping kanal Rijnsburgersingel. Kincir angin yang dulu berfungsi sebagai tempat pengolahan gandum itu sekarang menjadi museum yang terbuka untuk umum.
Lima tahun sudah saya meninggalkan kota ini. Namun, tiap kali menapaki Leiden, saya seolah pulang ke rumah yang selalu saya rindukan; bangunan-bangunan tua nan klasik, kanal-kanal cantik yang kadang dipenuhi kapal-kapal kecil, burung-burung camar yang berkerumun di alun-alun kota, dan setapak-setapak sempit yang memikat.
Leiden memang istimewa, juga bagi Indonesia. Kota ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah ibu pertiwi. Sejumlah tokoh besar Indonesia, seperti Achmad Soebardjo (Menlu Pertama Indonesia) dan Hoessein Djajadiningrat (doktor dan guru besar pribumi pertama), adalah lulusan Universiteit Leiden.
Universiteit Leiden merupakan universitas tertua di Belanda (didirikan pada 1575). Di kota itu pula organisasi Persatuan Pelajar Indonesia kali pertama dimulai, pergerakan yang berpengaruh besar dalam perjuangan politik Indonesia dalam merebut kemerdekaan.