Dinar-Dirham yang Mulai Populer sebagai Alat Pembayaran
Dapat Nasi Goreng Plus Kembalian Rp 20 RibuSabtu, 09 Januari 2010 – 04:34 WIB
Dia menegaskan, usahanya memopulerkan penggunaan dinar dan dirham sebagai alat pembayaran bukan ditujukan untuk melawan pemerintah. "Kami tidak melawan siapa pun. Ini prinsip dasarnya sukarela," tegas pria kelahiran 22 November 1962 tersebut.Dia mengakui, penggunaan dinar dan dirham tidak cocok dengan sistem perbankan. Bahkan dengan bank syariah sekalipun. Sebab, mata uang kertas selalu termakan inflasi, sehingga menuntut adanya suku bunga. Hal itu berbanding terbalik dengan dinar dan dirham yang nilainya justru naik.
Menurut Zaim, tak masalah jika selama ini dinar dan dirham tidak terhubung dengan sistem perbankan. "Lagi pula, berapa persen sih di antara seluruh penduduk di Indonesia yang mengguankan sistem perbankan"? ungkapnya.
Dalam sejarah, penggunaan uang kertas memang baru berusia 300 tahun. Bahkan, lebih dari separo umur uang kertas itu dulu masih menggunakan deposit emas sebagai jaminan. Emas itu secara riil disimpan bank sentral. Namun, sejak sistem Bretton Woods yang ditandai lahirnya Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia pada 1944, jaminan riil emas di bank sentral dihapus. Dengan lahirnya sistem baru tersebut, bank sentral bisa mencetak uang tanpa dikaitkan dengan cadangan emas di brankasnya.