Diserang 320 Gugatan, Proyek Tol Berlanjut
Sabtu, 23 Agustus 2008 – 06:34 WIB
Saya memang terkesan dengan terjaganya sempadan jalan di India ini. Meski negaranya begitu miskin dan penduduknya begitu banyak (1,1 miliar orang saat ini) tapi sempadan jalannya relatif terjaga dari “penjarahan liar”. Memang sempadan jalan itu umumnya seperti tanah terlantar. Kalau di Indonrsia barangkali sudah dianggap tanah tidak bertuan. Di India tanah kosong itu terjaga sangat baik. Tidak banyak rumah liar atau tempat usaha liar yang tiba-tiba memenuhi sempadan itu. Ini sangat berbeda dengan pemandangan sempadan jalan dari arah Surabaya ke Mojokerto, atau dari Surabaya ke Malang. Juga di mana saja di seluruh Indonesia yang sempadan jalannya penuh dengan bangunan liar. Akibatnya, perjalanan ke Malang, misalnya, tidak nyaman lagi. Pengguna jalan tidak bisa lagi menyaksikan pemandangan indah di kejauhan sana.
Meski begitu demokratisnya, meski begitu miskinnya dan meski begitu banyak penduduknya, tapi saya menaruh hormat dengan terjaganya sempadan jalan di India. Termasuk di ibu kota New Delhi. Di seluruh kota itu jalannya memang tidak lebar, tapi sempadan jalannya lebih lebar dari jalannya sendiri. Di kiri dan kanannya. Semua bangunan berada jauh dari jalan. Memang sempadan jalan itu hanya ditumbuhi pohon-pohon yang meskipun sangat hijau tapi tidak terawat. Tapi tampaknya ini hanya semata-mata karena India belum punya uang saja. Kelak, kalau India sudah mulai kaya, pasti dengan mudah bisa mempercantiknya.
Rupanya New Delhi memang dijaga agar tidak jatuh menjadi Old Delhi. Biarlah yang “kacau-kacau” cukup di bagian kota lama itu. Luar biasa ruwet dan kumuhnya Old Delhi. Tapi ya hanya di kota lama itu saja yang tidak seberapa luas.
New Delhi dijaga agar semaksimal mungkin masih seperti aslinya saat dibangun Inggris lebih 100 tahun lalu. Tuntutan kemajuan dan modernisasi ditampung di kota-kota baru. Gedung-gedung baru yang tinggi dibangun di wilayah baru yang cukup jauh dari New Delhi. Ini rasanya mirip dengan kebijakan Malaysia, yang ketika kota Kuala Lumpur sudah mulai penuh, diputuskan untuk membangun kota baru Syah Alam. Dan ketika Syah Alam juga mulai penuh dibangun lagi kota yang lebih baru: Putra Jaya. Dengan demikian masing-masing kota terjaga akan kemampuan daya tampungnya. Daya tampung penduduknya, suplai airnya, penanganan sampahnya, dan seterusnya.
Di Indonesia, rasanya tinggal satu kota yang terjaga seperti itu. Yakni Palangkaraya. Di ibukota Kalteng itu, pemdanya bisa memegang teguh ketentuan izin bangunan. Ruko pun harus dibangun jauh dari jalan. Ruko inilah yang sebenarnya menghancurkan perkotaan di Indonesia. Di semua kota, kecuali Palangkaraya tadi. Bahkan, Denpasar yang indah pun sudah hancur oleh ruko yang dibangun mepet ke jalan itu.
Di New Delhi saya memang mendapat kesan yang lain dari di Madras. Di ibu kota India ini, pembangunan lebih terasa pesat. Di New Delhi saya bisa membenarkan kalau ekonomi India tumbuh pesat sampai 9 persen setahun. Bahkan bisa seperti 12 persen setahun. Pembangunan jalan layang, gedung baru, kota-kota satelit, apartemen-apartemen mewah terasa cukup banyak.