DMI: Negara Jangan Mencampuri Agama
Dikatakan Imam, dahulu masjid bukan hanya menjadi tempat untuk beribadah saja. Tetapi, juga menjadi tempat sarana pemberdayaan masyarakat. Kendati demikian, masjid juga bukanlah alat negara atau milik kekuasaan negara.
Ditemui koran ini usai menghadiri perayaan Tahun Baru Imlek di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Sabtu (4/2) lalu, Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin menegaskan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag) tidak bisa melakukan intervensi pada penetapan standarisasi Kompetensi Khatib (Ulama, Red) yang memberikan tausyiah dalam khotbah sholat Jumat. Karena domain materi khotbah ada di tangan para ulama.
”Keinginan standarisasi khatib berasal dari kehendak dan aspirasi umat Islam, kami hanya fasilitator,” ujar Lukman Hakim Saifuddin.
Lukman mengatakan, semua hal terkait penetapan standarisasi khatib berpulang kepada para ulama, pemuka agama dan tokoh ormas Islam. Tugas Kemenag hanya menjadi fasilitator. Karena, ditambahkan Lukman, keinginan umat untuk menghindari munculnya materi khotbah yang mengandung ujaran kebencian.
”Usulan ini muncul, kami tidak bisa berdiam diri. Jadi kami undang para ulama, tokoh ormas hingga akademisi. Karena ada beberapa khotbah-khotbah yang meresahkan, tidak hanya berisi tausiyah, tapi mengandung ujaran kebencian,” jelas Lukman.
Terkait munculnya pro dan kontra di kalangan umat Islam, dikatakan Lukman dikarenakan adanya ketimpangsiuran ide gagasan tersebut. Munculnya kelompok yang resisten, mungkin disebabkan kesalahpahaman. Tapi, menurut Lukman juga tidak sedikit kelompok yang menghendaki standarisasi untuk Khatib tersebut.
”Mereka menginginkan syarat dan rukun khotbah keabsahan terpenuhi," katanya.
Lebih jauh Lukman menerangkan, pemerintah tidak akan turut dalam menetapkan materi isi dan standarisasi Khatib, pengaturannya, hingga siapa yang berhak memberi. Hal itu, dikembalikan kepada para ulama, tokoh ormas dan para akademisi yang terlibat dalam pembahasan dan penyusunan standarisasi tersebut.