DP Nol Rupiah Pencitraan yang Mengorbankan Rakyat?
jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi C DPRD DKI Dwi Rio Sambodo menilai program rumah DP nol rupiah belum dikaji secara matang. Ini terlihat dari belum adanya peraturan daerah dan peraturan gubernur yang jadi payung hukumnya.
“Idealnya sebelum program ini dilaksanakan perlu dibuat aturan hukum terlebih dahulu. Misalnya yang menyangkut mekanisme dan prosedur pembangunan, skema pembayaran, maupun pembiayaannya yang berasal dari APBD DKI Jakarta,” jelas Rio dalam keterangan yang diterima JPNN, Sabtu (20/1).
Terlebih, lanjutnya, saat ini ada regulasi terkait kredit properti yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/16/PBI/2016 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor (peraturan).
Tidak hanya aturan, Dwi Rio juga menyoroti salah satu persyaratan dari program ini, yakni hanya warga Jakarta yang berpenghasilan di bawah Rp 7 juta. Menurut Rio, ketentuan tersebut tidak berazas keadilan.
Dia mengingatkan, upah minimum regional (UMR) untuk DKI Jakarta hanya sebesar Rp 3,6 juta per bulan. Sementara, cicilan rumah DP nol persen tipe 21 diperkirakan berkisar antara Rp 2,1 juta-Rp 2,6.
Sedangkan untuk rusunami tipe 36 yang dilepas dengan harga Rp 320 juta, cicilan dengan tenor 15 tahun menjadi Rp 3,64 juta.
“Rasanya mustahil, meski dengan DP nol rupiah, orang berpenghasilan UMR Rp 3,6 juta per bulan mampu untuk membeli rusun tersebut,” ujar politikus PDI Perjuangan ini.
Dia pun memastikan bahwa program ini tidak dapat dirasakan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Tidak hanya itu, hal lain yang harus dipikirkan ialah andaikan masyarakat mengalami kegagalan membayar cicilan atau macet, siapakah yang akan menanggung?