Draf Perpres TNI Tangani Terorisme Justru Menjauhi Semangat Reformasi
Ikhsan juga menyoroti soal masalah peradilan militer yang sejak era reformasi belum diselesaikan hingga sekarang.
“Peradilan militer menjadi persoalan yang tidak kunjung tuntas dalam dua dekade reformasi. Kegagalan revisi sistem peradilan militer menjadi penanda rendahnya akuntabilitas atas pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan aparat militer masih menjadi masalah besar,” beber dia.
Pengaturan semacamnya lanjut Ikhsan, juga sudah diatur pada Pasal 3 ayat (4) huruf a TAP MPR No.VII tahun 2000 tentang peran TNI dan peran Polri yang mengamanatkan prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer.
Kemudian tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum, seharusnya dapat dilaksanakan.
“Dua persoalan di atas pada dasarnya juga menjadi bagian dari definisi Tentara Profesional yang diatur pada Pasal 2 huruf d UU TNI, yakni mengikuti kebijakan politik negara yang menganut, prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, dan ketentuan hukum nasional,” tegasnya.
“Sehingga, dalam konstruksi kerangka penolakan itu, tentu menjadi pertanyaan, bagian mana yang mencerminkan sesuatu yang berlebihan dan penggunaan kacamata hukum dan HAM yang sempit?” sambung Ikhsan.
Ikhsan juga menuturkan, dalam diskursus pro-kontra draf perpres, satu hal yang ditakutkan adalah ketika terjadi perbedaan konteks pembahasan.
Dia lantas menekankan, penolakan yang dilakukan sejumlah aktivis berada pada konteks pengaturan pelibatan TNI dalam draf perpres.