Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Dukacita bagi Guru, Sahabat dan Cendekiawan Soekarnois: Bung Cornelis Lay

Oleh Hasto Kristiyanto*

Rabu, 05 Agustus 2020 – 09:31 WIB
Dukacita bagi Guru, Sahabat dan Cendekiawan Soekarnois: Bung Cornelis Lay - JPNN.COM
Prof. Dr. Cornelis Lay, M.A saat menyampaikan pidato dalam pengukuhannya menjadi guru besar FISIPOL UGM, 6 Februari 2019. Foto: dokumentasi pribadi Hasto Kristiyanto

Melalui Prof DR Cornelis Lay pula saya memahami keteguhan sikapnya untuk tetap berdiri pada jalan intelektual, sebuah jalur yang menjaga jarak dengan politik, namun menceburkan diri dengan sikap “lepas-bebas” agar tetap bertahan pada objektivitas dan mengawal kebenaran dalam politik.

Apa yang dilakukan Mas Cony ini sejalan dengan sikap intelektual, yang berangkat dari makna ilmu pengetahuan yang digagas Bung Karno untuk diterapkan guna mengabdi pada perjuangan kemanusiaan. Perjuangan politik kemanusiaan inilah yang terus digagas dan ditekuni oleh Mas Cony.

Dengan demikian, penemuannya terhadap Jalan Ketiga Peran Intelektual sebagai Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan tidak terlepas dari dialog panjang dan koneksitas gagasan Bung Karno yang dipraktikkan oleh Ibu Megawati Soekarnoputri.

Interaksi ilmu pengetahuan dan kekuasaan sebagaimana digagas Mas Cony pernah disampaikan Bung Karno ketika menerima gelar doktor honoris causa ilmu hukum dari Unversitas Gadjah Mada pada 19 September 1951. Ilmu pengetahuan hanya berharga penuh jika dipergunakan untuk mengabdi pada praktik hidupnya manusia, praktik hidupnya bangsa, atau praktik hidupnya kemanusiaa.

Itulah sebabnya mengapa Bung Karno selalu mencoba menghubungkan ilmu dengan amal, menghubungkan pengetahuan dengan perbuatan, sehingga pengetahuan untuk perbuatan dan perbuatan dipimpin oleh pengetahuan. Buatlah ilmu berdwitunggal dengan amal!

Ilmu dan amal yang digaungkan Bung Karno, dalam praktik politik tidak mudah diimplementasikan. Apalagi ketika selama pemerintahan Orde Baru, dunia akademis sering digunakan untuk melegalisasi kebijakan pemerintah sehingga terjadi “kebekuan” antara dunia akademis dan politik pemerintahan.

Kejernihan Mas Cony terlihat ketika menyintesis pemikiran Bung Karno dengan praktik politik Megawati Soekarnoputri yang berupaya menegakkan prinsip bahwa ilmu pengetahuan dan kekuasaan politik harus berjalan seiring dalam bahasa kemanusiaan.

Ibu Megawati menghadapi praktik-praktik politik kotor, homo homini lupus. Manusia dilihat sebagai serigala bagi sesamanya.

Selamat jalan, Mas Cony. Engkau telah pergi, namun pemikiranmu akan makin bersemi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

BERITA LAINNYA
X Close