Fadli Zon Berharap RUU HIP Ditarik, Nih Alasannya
jpnn.com, JAKARTA - Anggota DPR Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon berharap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila atau RUU HIP ditarik.
Menurutnya, setiap UU tidak boleh berpretensi menjadi UUD. Namun, kata dia, fatsun ketatanegaraan itu telah dilanggar oleh RUU HIP yang kini tengah memancing penolakan di tengah masyarakat.
“Pretensi menjadi undang-undang dasar inilah, menurut saya, menjadi alasan pertama kenapa RUU HIP perlu segera ditarik, dan bukan hanya butuh direvisi," kata Fadli, Senin (15/6).
Mantan wakil ketua DPR itu mengatakan lihat saja rumusan identifikasi masalahnya. Kalau dibaca naskah akademik RUU HIP, rumusan identifikasi masalah semacam itu sebenarnya lebih tepat diajukan saat hendak merumuskan UUD, bukannya UU.
Alasan kedua, Fadli melanjutkan, Pancasila adalah dasar negara, sumber dari segala sumber hukum, yang mestinya jadi acuan dalam setiap regulasi atau UU.
Ironisnya RUU HIP ini malah ingin menjadikan Pancasila sebagai UU itu sendiri. "Standar nilai kok mau dijadikan produk yang bisa dinilai? Menurut saya, ada kekacauan logika di sini," ungkap Fadli.
Wakil ketua umum Partai Gerindra itu mengatakan Pancasila tidak boleh diatur oleh UU, karena mestinya seluruh produk hukum dan perundang-undangan menjadi implementasi dari Pancasila.
"Satu-satunya ‘undang-undang’ yang bisa mengatur institusionalisasi Pancasila hanyalah Undang-Undang Dasar 1945, dan bukan undang-undang di bawahnya, termasuk bukan juga oleh omnibus law," ujarnya. "Kalau diteruskan, ini akan melahirkan kerancuan yang fatal dalam bidang ketatanegaraan."
Alasan ketiga, lanjut Fadli, RUU HIP gagal memisahkan wacana dari norma. Dia menegaskan Pancasila, dengan rumusan kelima silanya adalah norma. Rumusannya terjaga di dalam naskah Pembukaan UUD 1945.
Sementara, istilah Trisila dan Ekasila, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 7 RUU HIP, itu hanyalah wacana yang muncul saat gagasan Pancasila pertama kali dipidatokan Bung Karno 1 Juni 1945.
“Istilah itu sama sekali tak pernah jadi norma. Jadi, memasukkan wacana yang sama sekali tidak memiliki yurisprudensi ke dalam sebuah naskah rancangan undang-undang, seolah itu adalah sebuah norma jelas menunjukkan adanya cacat materil dalam penyusunan RUU HIP ini," paparnya.
Fadli menambahkan wacana Trisila dan Ekasila itu sama sekali tak pernah menjadi normal dalam sistem hukum dan ketatanegaraan Indonesia.
Bahkan, lanjut dia, meskipun istilah Pancasila berasal dari Bung Karno, dan Indonesia mengakui 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila, namun jangan lupa yang kemudian dijadikan normal dalam sistem hukum dan ketatanegaraan adalah rumusan sila-sila yang disahkan pada 18 Agustus 1945, bukan rumusan sila-sila yang pertama kali dipidatokan.
“Ini harus sama-sama kita pahami. Apalagi teks Pancasila itu lahir dari diskursus pikiran sejumlah tokoh khususnya anggota BPUPKI 1945," papar dia.
Alasan keempat, lanjut Fadli, selain cacat materiil, RUU ini juga mengandung cacat formil. RUU ini berpretensi menjadi omnibus law padahal kajian akademiknya tidak dimaksudkan demikian.
Kalau dibaca pasal-pasalnya, RUU ini ingin mengatur berbagai isu, mulai dari soal demokrasi, ekspor, impor, telekomunikasi, pers, media, riset, hingga soal teknologi. "Isinya jadi ke mana-mana," tegasnya.
Menurut Fadli, kelihatannya latar belakang RUU ini sebenarnya hanya untuk memperkuat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) saja. Padahal, kata dia, lembaga BPIP ini tidak terlalu diperlukan, hanya menambah beban negara. "Pernyataan pimpinannya sering membuat kegaduhan dan berpotensi memecah belah bangsa," ungkapnya.
Alasan kelima, kata Fadli, RUU ini tidak punya urgensi sama sekali. Indonesia saat ini sedang menghadapi bencana pandemi Covid-19. "Namun, dengan munculnya RUU ini, kita kembali bertengkar soal ideologi, kotak pandora yang sebenarnya secara formil sudah kita tutup sejak lama," papar dia.
Jadi, Fadli menyatakan alih-alih mempersatukan, RUU ini malah bisa membuka luka-luka lama sejarah dan akhirnya memecah belah. Menurutnya, sebagian masyarakat curiga RUU ini digunakan untuk menyusupkan kepentingan kaum komunis atau PKI yang sudah dilarang.
"Tak dicantumkannya TAP MPRS No. XXV/1966 tentang Pembubaran PKI sebagai konsideran, malah makin memupuk penolakan sebagian masyarakat," ungkapnya.
Apalagi, RUU ini juga memerintahkan pembentukan kementerian/badan baru di luar Badan Haluan Pembinaan Ideologi Pancasila. Coba baca Pasal 35 dan 38, kata Fadli, setidaknya akan ada tiga badan/kementerian baru yang akan diperintahkan dibentuk oleh UU ini.
"Untuk apa? Negara saat ini sedang susah. Anggaran lembaga negara yang sudah ada saja kini banyak dipotong untuk menutup defisit dan mengatasi pandemi, ini kok malah mau membentuk lembaga baru, lebih dari dua lagi. RUU ini jelas tak penting dan tidak memiliki sensitivitas krisis," paparnya.
Dengan lima alasan tadi, Fadli berpendapat pembahasan mengenai RUU HIP tak perlu lagi diteruskan. Jika ada yang ingin memperkuat pelembagaan BPIP, sebaiknya dibuat saja UU tentang BPIP.