Firmansyah: Perpanjangan Kontrak JICT kepada Hutchison Cacat Hukum
Hal tersebut melanggar Permen BUMN No PER-01/MBU/2011 tentang penerapan tata kelola perusahaan yang baik dan juga melanggar Pasal 3 dan Pasal 8 Keputusan Menteri BUMN No KEP-101/MBU/2002 tentang penyusunan rencana kerja anggaran perusahaan.
Selain itu, privatisasi jilid II tersebut tanpa ada izin konsesi pemerintah dan melanggar UU 17/2008 Pasal 82 ayat 4, pasal 344 ayat 2 dan pasal 345 ayat 2.
“Pelanggaran aturan lain yang paling terlihat yakni Pasal 8 ayat 1 dan pasal 10 ayat 1 Permen BUMN No PER-06/MBU/2011 dimana Hutchison ditunjuk langsung tanpa tender sehingga penjualan JICT tidak optimal,” katanya.
Menurut Firmansyah, dari berbagai penyimpangan yang saling berkaitan dan terindikasi ada pemufakatan jahat, negara dirugikan setidaknya Rp 4,08 triliun.
Lebih lanjut, Firmansyah menjelaskan manajemen Hutchison di Indonesia terus berupaya mengalihkan isu pelanggaran aturan dan korupsi pada perpanjangan kontrak JICT. Baik itu opini media soal operasional JICT mauoun bantuan Hutchison saat gempa Donggala dan pemberitaan masif pemilik Hutchison Li Ka Shing yang sarapan dengan Jokowi.
Di sisi lain, saat perpanjangan kontrak efektif tahun 2015, Hutchison berkomitmen akan membayarkan uang sewa per tahun sebesar USD 85 juta kepada Pelindo II. Uang ini sedianya digunakan untuk membangun pelabuhan-pelabuhan di Indonesia.
Namun kenyataannya, dari dokumen penyelidikan Pansus Pelindo II, uang sewa tersebut dibayarkan oleh JICT bukan Hutchison.
Uang sewa tersebut digunakan sebagai jaminan pencairan pinjaman dana Global Bond Pelindo II senilai Rp 20,8 triliun atau USD 1,6 miliar yang cair pada Mei 2015 dan juga diperuntukkan untuk membayar bunga hutang Global Bond Pelindo II per tahunnya.