Firmansyah: Perpanjangan Kontrak JICT kepada Hutchison Cacat Hukum
jpnn.com, JAKARTA - BUMN operator pelabuhan Pelindo II menunjukkan sikap apatis paska-kontrak Hutchison di pelabuhan petikemas nasional terbesar, Jakarta International Container Terminal (JICT) habis pada 27 Maret 2019.
Pemerintah lewat Pelindo II seharusnya bisa menyikapi kasus ini mengingat perpanjangan kontrak (2015-2039) JICT kepada Hutchison cacat hukum dan merugikan negara.
“Jika ini dibuktikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sedang menyelidiki kasus ini, maka perpanjangan kontrak JICT merupakan korupsi pelabuhan terbesar yang pernah ada,” kata Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja JICT, Firmansyah dalam keterangan persnya, kemarin.
BACA JUGA: Jelang Hari Jadi ke-20, JICT Memberikan Hadiah Spesial untuk Masyarakat
Sampai saat ini, menurut Firmansyah, Pelindo II tidak menyatakan sikap untuk membatalkan perpanjangan kontrak JICT.
Saat ditanya mengapa perpanjangan kontrak atau privatisasi pelabuhan nasional terbesar JICT itu terus dijalankan walau cacat hukum dan merugikan negara, Firmansyah menjelaskan sejak kasus JICT mencuat pada 5 Agustus 2014, mantan Direktur Utama Pelindo II RJ Lino buru-buru mengumumkan saham Pelindo II di JICT sudah mayoritas atau 51 persen.
Namun saat penyelidikan Pansus Pelindo II DPR pada 26 November 2015, Direktur Utama JICT Dani Rusli menyerahkan dokumen perusahaan yang dinyatakan saham Pelindo II di JICT masih minoritas atau 48,9 persen. Bahkan di sejumlah dokumen RUPS terbaru, disebutkan saham Pelindo II tetap 48,9 persen.
Apalagi BPK telah mengumumkan hasil audit investigatifnya pada 17 Juni 2017 soal pelanggaran aturan dan kerugian negara dalam kasus privatisasi JICT jilid II (2015-2039). Di antaranya perpanjangan kontrak JICT tanpa ada RUPS, Rencana Jangka Panjang Perusahaan atau RJPP dan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan atau RKAP.