Firmansyah: Perpanjangan Kontrak JICT kepada Hutchison Cacat Hukum
Menurutnya, dengan beban cacat hukum kontrak dan unsur korupsi sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum Indonesia bagi investor, maka dalam 20 tahun ke depan, Pelindo II dipastikan terus menanggung dosa privatisasi jilid II kepada Hutchison dan harus mencicil utang asing lewat penjualan aset pelabuhan JICT.
“Ini akan menjadi beban yang berat bagi pemerintahan berikutnya,” katanya.
Menurut Firmansyah, dalam perhitungan beberapa ahli keuangan, nilai termination value atau pemutusan kontrak Hutchison paska 27 Maret 2019 hanya berkisar Rp 35 miliar. Nilai ini jauh lebih kecil dibanding pendapatan JICT yang rerata mencapai Rp 2-3 triliun per tahun.
Dari segi pasar, menurut dia, pelabuhan Indonesia memiliki tipe end destination port bukan tipe transhipment. Artinya pasar dibentuk dari kekuatan domestik bukan investor asing.
Apalagi JICT dikelola oleh 100 persen anak-anak bangsa sejak Hutchison datang tahun 1999 bahkan jauh sebelum itu sejak tahun 1978. Jadi secara kemampuan, peralatan dan teknologi, JICT sangat mumpuni dan mampu dinasionalisasi.
Di sisi lain, menurut Firmansyah, pemerintah sedang menggalakkan visi poros maritim dunia. Pembatalan kontrak JICT merupakan perwujudan sikap pemerintah terhadap realisasi visi tersebut.
Mengingat JICT adalah gerbang ekonomi nasional di mana dalam kerangka visi poros maritim dunia, penting mengelola pelabuhan secara mandiri karena ada aspek kedaulatan dan pengelolaan ekonomi yang besar untuk rakyat.(jpnn)