Gas Air Mata dan Air Mata Kemanusiaan dari Kanjuruhan
Oleh Haruna Soemitro*Sekali lagi, terlalu kecil jika yang dipikirkan sanksi FIFA, batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20, 'tiji tibeh' untuk seluruh pengurus PSSI, atau bahkan sampai tidak ada sepak bola lagi di Indonesia!
Terlalu kecil pula jika persoalan itu direspons dengan vonis penghentian kompetisi.
Sungguh, satu nyawa sekalipun tidak sebanding dengan euforia pencinta sepak bola.
Seharusnya kematian ratusan orang dalam waktu hampir bersamaan di tempat (locus) yang sama sudah layak menjadi peristiwa pelanggaran HAM berat. Negara harus menangani masalah itu secara tegas dan lugas.
Sungguh, saya ikhlas lahir dan batin tidak akan mengurus sepak bola lagi jika itu sudah impas dengan duka dan air mata keluarga korban tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan.
Meminjam istilah populer di kalangan warga Jatim: 'gak dadi pengurus PSSI, gak pathek'en' jika sepak bola yang semestinya menjadi hiburan berubah jadi kuburan.
Ojo dibanding-bandingke alias jangan membanding-bandingkan kerusuhan saat laga Peru vs Argentina pada 1958, Tragedi Heysel di Belgia pada 29 Mei 1985, bentrok suporter di negara lain, dengan tewasnya Bobotoh maupun Tragedi Kanjuruhan.
Sekali lagi Tragedi Kanjuruhan bukanlah peristiwa sepak bola ataupun kerusuhan suporter vs hooligan.
Tragedi Kanjuruhan adalah peristiwa kemanusiaan, lebih tepatnya rakyat vs polisi. Ini pelanggaran HAM berat.(jpnn.com)