Genggaman Sang Istri Lepas saat Digulung Tsunami Selat Sunda
Mereka sempat menjauh dari pantai. Meninggalkan halaman penginapan tempat family gathering. ”Tidak ada yang menyangka bakal ada tsunami. Semalam itu justru menurut saya cuacanya bagus. Bulan bagus, enggak ada angin, hujan pun tak ada,” jelas Widiono.
Lalu datanglah ombak kedua yang lebih besar. Tingginya sekitar dua meter. Ombak itulah yang menggulung Widiono bersama keluarga. Dia sudah tidak tahu apa yang terjadi dalam ombak yang hanya berlangsung tiga menit tersebut. Istrinya lepas dari genggamannya. ”Saat itu saya hanya bisa berdoa. Ya Allah, berilah kami kekuatan. Itu posisi kaki kejepit kayu mungkin,” ungkap dia.
Saat aliran ombak kembali ke laut, Widiono tahu empat anaknya selamat. Posisi mereka tak jauh dari tempatnya tergeletak. Yang tidak diketahui adalah nasib istrinya. ”Saya bisa lolos, bisa naik ambil udara, bisa napas. Kalau telat lima menit mungkin ya sudah,” katanya.
Di Pantai Carita, dengan bantuan warga, Widiono dibawa warga dengan diboncengkan motor menuju tempat yang lebih tinggi. Anak-anaknya, sepengetahuan dia, diselamatkan warga lain ke lokasi yang berbeda.
Oleh salah seorang warga, Widiono diberi baju ganti. Kaus polo hitam dan sarung warna cokelat. Dalam kondisi lemah, dia pun akhirnya menginap di rumah warga tersebut. Kepalanya terasa pusing sekali karena kehilangan banyak darah. Kepala bagian belakangnya berdarah.
Kemarin pagi, sekitar pukul 05.00, Widiono dibawa ke Puskesmas Carita untuk mendapatkan perawatan. Sekitar pukul 13.00 dia melihat banyak jenazah yang sudah diletakkan di halaman puskesmas itu.
Di sanalah dia bertemu kembali dengan sang istri. Yang sudah dibungkus kantong jenazah. ”Itu di kantong nomor 34,” katanya dengan suara pelan. (jek/alt/c9/ttg)