Goenawan Mohammad: Penghargaan Bukan Tujuan Penulis, yang Penting Berkarya
Sadaring Satupena ke-2 dihadiri hampir 200 peserta ini dimoderatori Debra H Yatim dan Geger Riyanto bertema “Penulis, Pengharagaan, dan Marwahnya”.
Eka Kurniawan batal hadir dalam acara tersebut. Sebelum diskusi, penyair Dyah Merta membacakan puisi tentang seorang ibu yang kesulitan memberikan susu pada anaknya.
Lebih lanjut, Goenawan yang penulis dan pendiri Tempo mengatakan penghargaan sastra bukanlah tujuan utama penulis. Ketiadaan ukuran yang pasti, subyektivitas penyelenggara, juga kendala bahasa membuat penghargaan atas karya-karya penulis selalu berpotensi menimbulkan kontroversi.
Tradisi penghargaan sendiri sudah hadir sejak masa Yunani lama, 200 tahun SM. Hadiah Nobel untuk sastra, yang dianggap sebagai prestasi puncak dalam bidang kesusastraan dunia, pun tak lepas dari polemik dan kelemahan dalam penjurian.
Juri Nobel sastra, yang dirahasiakan namanya, dianggap tidak cukup banyak mengenal sastra dunia karena kemungkinan terkendala bahasa asli dari asal negara sastrawan, misalnya dari Indonesia. Juga karya-karya sastrawan Rusia seperti Leo Tolstoy yang tidak mendapat penghargaan, karena ditulis dalam bahasa Rusia yang tak diketahui juri dengan baik.
“Jadi, kalau hadiah Nobel saja menimbulkan kerancuan karena yang diumumkan adalah nama penulisnya, bukan karyanya, apalagi peghargaan penulis atau sastrawan di Indonesia. Lebih baik fokus pada karya," kata Goenawan.
Kepada Satupena, Goenawan menyarankan, lebih baik berfokus pada membenahi dunia kepenulisan. Misalnya, bagaimana penulis mendapatkan hak-hak dan royaltinya dibayarkan dengan baik dan melawan pembajakan.
“Yang juga lebih mendasar, bagaimana agar masyarakat bisa lebih luas mengapresiasi karya sastra. Selama ini, pengajaran sastra di sekolah adalah menghafal nama dan judul buku. Bukan pada memahami, melakukan kritik, dan mengapresiasi karya. Chairil Anwar itu menjadi penyair besar karena dia tekun melakukan kritik pada karya sastra,” kata Goenawan.