Hahaha, Tertawa Mengenang Gerhana di Jaman Pak Harto
Yang juga berbeda tentu saja peralatan. Yang diboyongnya ke Parigi Moutong saat ini tergolong sangat lengkap dan canggih. Salah satunya teleskop ekuatorial. Benda yang berfungsi untuk melihat benda langit itu bisa mengikuti gerakan matahari secara otomatis sehingga tidak perlu operator yang menggerakkannya.
Yang kedua adalah laptop. Gambar yang ditangkap dari teleskop bisa langsung terhubung ke laptop. Dengan demikian, peneliti dengan gampang melihat kejadian yang ada di matahari. ’’Sehingga semua proses GMT bisa direkam dan diabadikan,’’ jelasnya.
Pada 1983 tim hanya berbekal dua alat. Yaitu, teleskop tipe celestrone yang ditempeli kamera film, bukan kamera digital. Teleskop celestrone tersebut bekerja secara manual.
Jadilah operator harus membidik terus-menerus posisi matahari, sedangkan kamera film digunakan untuk mengabadikan gerak-gerik sang surya. Setiap 5 menit petugas selalu memotret. Sungguh menguras keringat.
Beruntung kerja keras tersebut berbuah manis. Saat itu tim berhasil mendapatkan gambar GMT yang jelas. Gunawan mengaku, hasil penelitian itu langsung disimpan si dosen.
Tapi, bagi Gunawan, tetap saja yang tak terlupakan dari GMT 1983 adalah kekonyolan kebijakan rezim yang berkuasa. ’’Kalangan kampus sebenarnya sudah berjuang meyakinkan bahwa GMT itu aman dilihat,’’ tuturnya.
Tentu asal caranya benar. ’’Misalnya, menggunakan kacamata khusus yang antiradiasi matahari. Namun, pemerintah tetap jadi pemenangnya,’’ ujarnya.
Alhasil, partisipasi warga dalam GMT 1983 sangat minim. Di Cepu, Gunawan mengaku, pihaknya memang berhasil mengajak warga untuk melihat gerhana. Tapi, jumlahnya sangat terbatas.