Hak Konstitusional Firli Bahuri Harus Dihormati
jpnn.com, JAKARTA - Kasus yang menjerat eks Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri sampai saat ini belum menemukan titik terang. Polda Metro Jaya diminta untuk menghentikan kasus tersebut untuk kepastian hukum terhadap Firli.
“Jika melihat dari kacamata hukum pidana, kasus ini tergolong sederhana. Pembuktian dalam perkara pidana cukup dilakukan dengan memenuhi dua alat bukti yang sah,” ujar praktisi hukum dari Universitas Mataram Sirra Prayuna Kamis (28/11).
Menurutnya, anatomi perkara seperti yang dituduhkan Polda Metro Jaya terhadap Firli Bahuri sudah seharusnya mengedepankan prinsip pembuktian yang jelas.
“Dalam konteks pembuktian, jika ada yang memeras tentu ada yang diperas. Lalu, harus diketahui kapan peristiwa itu terjadi, di mana tempatnya, bagaimana caranya, serta siapa saja saksi yang melihat dan mendengar langsung. Itu semua adalah elemen penting yang bisa dibuktikan secara hukum,” tambahnya.
Informasi yang dihimpun hingga kini sudah 123 saksi dan sebelas ahli diperiksa terkait kasus ini. Namun, berkas perkara yang bolak-balik antara penyidik dan kejaksaan membuat publik bingung dan bertanya-tanya mengenai kekuatan alat bukti yang dimiliki penyidik.
“Jika hingga saat ini belum ada bukti yang cukup maka demi keadilan, penyidik perlu mempertimbangkan penghentian penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP,” jelas Sirra.
Firli Bahuri kembali dipanggil sebagai tersangka hari ini terkait dugaan pemerasan terhadap Syahrul Yasin Limpo. Pemanggilan ini semakin menambah kerancuan dalam perkara tersebut, terutama dengan petunjuk jaksa bahwa berkas perkara tidak memenuhi syarat materiel.
Sirra Prayuna juga menyoroti pentingnya perlindungan hak asasi manusia dalam proses penegakan hukum. Menurutnya, hak Firli sebagai subjek hukum harus dihormati sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi.