Hasto Disebut Ingin Dijadikan Tumbal Politik
jpnn.com, JAKARTA - Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjadikan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto sebagai tumbal politik balas dendam kekuasaan. Indikasinya telihat setelah KPK menyita handphone milik Hasto dari stafnya dengan cara menjebak.
Hal tersebut disampaikan oleh Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia dan Advokat Perekat Nusantara Petrus Selestinus di Jakarta, Selasa (11/6).
"Pemanggilan dan pemeriksaan Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP, sebagai saksi untuk tersangka Harun Masiku oleh penyidik KPK, pada Senin, 10 Juni 2024, merupakan suatu akrobat politik yang sangat tidak elok dipertontonkan oleh KPK," kata Petrus dalam keterangannya, Selasa (11/6).
Menurut dia, dalam kasus sita HP dan tas tangan milik Hasto, KPK justru melakukan sita tidak dari tangan Sekjen PDIP itu. Namun, dari seorang staf Hasto yang dilakukannya dengan cara menjebak.
"Namun apa yang dihadapi oleh Hasto, ketika bertemu dengan penyidik KPK, ternyata KPK menunjukan sikap dan perilaku yang arogan, pemer kekuasaan, bahkan memperlakukan Hasto sebagai seorang tersangka, karena KPK serta merta melakukan upaya paksa dengan menyita HP dan tas tangan milik Hasto di luar prosedur hukum," katanya.
Dia menilai penyitaan HP dan tas tangan milik Hasto diduga akan dijadikan KPK sebagai bagian dari alat bukti permulaan yang cukup bagi penyidik dalam menetapkan sebagai tersangka.
Padahal, Hasto statusnya adalah saksi bukan tersangka, sehingga sesuai prinsip hukum acara tentang penyitaan terhadap suatu barang dari seseorang, barang itu harus merupakan hasil dari kejahatan atau alat untuk melakukan kejahatan serta dilakukan berdasarkan KUHAP dan ketentuan pasal 46 dan 47 Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 Tentang KPK.
"Hanya barang milik tersangka, atau barang yang digunakan oleh tersangka untuk melakukan tindak pidana korupsi atau barang hasil kejahatan korupsi yang dimiliki oleh tersangka, maka KPK dapat melakukan penyitaan di luar mekanisme KUHAP, artinya penyitaan itu cukup dilakukan dengan izin dari Dewas KPK atau dapat dimintakan izin segera setelah penyitaan terjadi (pasal 46 dan 47 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 19 Tahun 2019)," kata dia.