Hasto: Hakim di MA tak Melihat Konteks Baiq Nuril Merekam
jpnn.com, JAKARTA - Putusan Kasasi MA bernomor 574K/Pid.Sus/2018 yang diketok Hakim Agung Sri Murwahyuni yang menghukum Baiq Nuril Maknun enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta, mendapat beragam reaksi.
Di antaranya dukungan terhadap mantan pegawai honorer di SMAN 7 Mataram itu. Mereka kecewa lantaran Mahkamah Agung (MA) menghukum Nuril yang notabene adalah korban.
Salah satunya datang dari lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK). Lembaga tersebut dalam waktu dekat akan berkunjung ke Mataram untuk menemui Nuril.”Jika kedepan diperlukan pertolongan advokasi atau yang lainnya, maka akan kami upayakan,” ucap Wakil Ketua LPSK Hasto Atmojo kemarin (15/11) saat dihubungi Jawa Pos.
Dia melihat persoalan yang dialami Nuril terdapat kesenjangan antara positivism penegakan hukum dengan realitas keadilan yang harus dipenuhi oleh institusi hukum. Tindakan merekam pembicaraan telepon dari Muslim, yang waktu itu masih menjadi atasan Nuril, merupakan wujud perlindungan diri. Dia ingin membuktikan bahwa Muslim yang menggodanya.
”Dalam hal ini Nuril menjadi korban dan justru yang menjadi tersangka yang diputus sangat berat. Semata-mata yang jalan adalah kasus pencemaran nama baik yang dilakukan Nuril kepada kepala sekolah,” bebernya.
Hasto mengkritisi hakim yang hanya berpegang pada undang-undang Informasi dan Teknologi Elektronik (UU ITE) saja. Dengan kata lain, hakim hanya melihat Nuril melanggar UU ITE karena dianggap mentransmisi percakapan dengan Muslim. Hakim di Mahkamah Agung tidak melihat bahwa konteks Nuril merekam untuk melindungi diri.
”Ini satu lagi bukti perempuan di Indonesia ini sangat lemah dalam struktur budaya yang patriaki. Secara hukum mengalami kerugian dan secara budaya pun rugi,” kritiknya.
Hasto juga menuturkan bahwa UU ITE kerap dimanfaatkan untuk menyerang balik atau mengkriminalisasi oleh mereka yang sebelumnya sudah melakukan tindakan melanggar hukum.