Helen Pausacker, Dalang Perempuan Australia Tekuni Wayang 40 Tahun
Bagi Helen, menjadi dalang adalah sebuah hobi yang serius, dan menjadi benih-benih cintanya terhadap seni yang pertama kali dilihatnya dalam kunjungan ke Indonesia pada tahun 1974.
"Wayang adalah bentuk seni yang rumit, merupakan perpaduan harmonis antara cerita, drama, musik, dan seni (wayang). Saya pertama kali melihatnya di Jakarta tahun 1974, dalam kunjungan perdana saya ke Indonesia," kisahnya.
Ia lantas melanjutkan, "Saya belajar tentang Indonesia di Universitas Melbourne, tapi Wayang saat itu dimainkan dalam bahasa Jawa, yang sama sekali tak dimengerti oleh saya dan bahkan teman-teman Jakarta saya. Jadi kami tak tahu apa yang terjadi, tapi kami nonton semalaman dan sungguh-sungguh menikmati pengalamannya."
Helen Pausacker tengah belajar menjadi dalang pada tahun 1976 (Foto: Helen Pausacker).
Pada tahun 1976, ia kembali ke Indonesia, mempelajari seni ini di Solo selama setahun, yang kemudian diikuti dengan pembelajaran intensif di tahun 1981, 1995 dan 1997-98. Sebagian besar dalang berasal dari keluarga dalang, dan kelompok minoritas akan belajar melalui guru pribadi atau di sekolah khusus dalang, atau di salah satu institut seni negeri.
"Di antara orang Jawa, ada kegandrungan terhadap wayang, tapi tak semua orang Jawa pergi nonton wayang. Wayang juga bisa dilihat melalui bentuk teknologi baru - awalnya ia disiarkan melalui radio taip bulan. Kini, juga ada siaran televisi dan beberapa bagian dari pertunjukannya juga diunggah di Youtube. Beberapa dalang bahkan aktif di Facebook," tutur Helen.
Karakter Helen sangatlah unik mengingat posisinya sebagai warga Australia yang dilatih untuk menjadi dalang. Menjadi dalang perempuan juga secara relatif tak lazim, karena kebanyakan dalang adalah pria.
Di Indonesia, ada sejumlah dalang perempuan ternama, salah satunya adalah almarhumah Nyi Suharni Sabdhowati.