Hentikan Kejahatan Kemanusiaan di Rohingya
Menurut laporan dari Human Rights Watch, aparat pemerintah Myanmar yang seharusnya memulihkan keadaan justru ikut terlibat dalam konflik tersebut (Human Rights Watch, 2012).
Persekusi terhadap orang-orang Rohingya di Myanmar telah dimulai sejak lama. Tahun 1950-an sampai 1960-an, etnis Rohingya diakui sebagai bagian dari Myanmar.
Pada tahun 1970-an pemerintah melakukan berbagai operasi militer dan berbagai mekanisme diskriminatif untuk membatasi mobilitas dan pertumbuhan orang-orang Rohingya.
Akan tetapi, pada tahun 1982 rezim militer mengeluarkan orang-orang Rohingya dari kategori warga negara. Sejak saat itu, represi yang dilakukan oleh negara semakin keras.
"Hanya dengan melihat keberanian mereka mengambil risiko untuk terombang ambing tanpa nasib yang jelas di laut, kita seharusnya dapat memahami betapa mengerikannya penindasan yang mereka alami di Myanmar," paparnya.
Gelombang kekerasan terhadap orang-orang Rohingya yang terakhir ini telah memperlihatkan keterlibatan komunitas Buddha di Rakhine.
"Konflik yang sebelum ini bersifat ‘vertikal’ antara negara atau rezim militer versus masyarakat berubah menjadi konflik ‘horizontal’ antara masyarakat Muslim Rohingya versus masyarakat Buddha Rakhine yang lebih kompleks," paparnya.
Kharis mempertanyakan kenapa Aung San Suu Kyi, sang peraih Nobel Perdamaian diam. "Apakah beliau takut kehilangan banyak suara dalam pemilihan umum atau sesungguhnya kelompok pro demokrasi Myanmar pun punya kecenderungan rasis?" kata Kharis.
Dia mengajak untuk mengetuk hati negara-negara dunia, karena telah terbuka krisis memperlihatkan rombongan manusia yang kurus kering dan penuh luka berdempetan di kapal-kapal yang dapat karam sewaktu-waktu.
"Rombongan pengungsi Rohingya tidak boleh diidentifikasi sebagai beban dan ancaman," kata anggota Fraksi PKS di DPR itu.