Hentikan Militerisme di Tanah Papua
Oleh: Dr. Filep Wamafma, SH., CN., M.Hum, Anggota DPD RI Provinsi Papua BaratSebagai perbandingan, jumlah peristiwa konflik di Papua dan Papua Barat sepanjang 2019 adalah 96 peristiwa.
Mungkin saja beberapa peristiwa terlewatkan begitu saja karena sangat banyak. Mungkin juga banyak kisah terlupakan karena memang demikianlah yang sering dialami Orang Papua.
Ditambah lagi dengan problem rasisme, menyebabkan Papua seperti kelinci percobaan kebijakan negara.
Apakah semua cita-rasa militeristik itu berhasil mendamaikan hati Orang Papua di Tanah Papua?
Faktanya, tembak-menembak masih terjadi, tingkat kecurigaan antara masyarakat semakin tinggi, dan akhirnya berimbas pada persoalan ideologi yang tertanam di nurani generasi muda Papua. Dengan demikian, sudah saatnya pendekatan militer ini harus dihentikan.
Nuansa Kultural
Orang Papua sesungguhnya mencintai kedamaian di tanah leluhurnya sendiri. Harapan akan adanya kedamaian tidaklah dicapai dengan senjata, perang, ataupun saling membunuh.
Ruang hidup Orang Papua adalah kebudayaannya, nuansa kultural, yang entah mengapa jarang memiliki tempat di mata pemerintah. Pendekatan kultural itu bisa dimulai dengan mengekplorasi kerja sama yang signifikan dengan 7 (tujuh) wilayah adat yaitu Mamta (Mamberamo-Tami/wilayah Tabi), Saereri, Ha Anim, La Pago, Mee Pago (kelimanya di wilayah Papua) dan Bomberai serta Domberai di Papua Barat.