Hukum Besi Oligarki: Koalisi Parpol Pemilu 2024
Oleh: Girindra Sandino, Eksekutif Caretaker KIPP IndonesiaKeempat, dan yang terpenting Prabowo sepertinya menghindar dari kelompok-kelompok islam garis kera yang selalu membuat ujaran dan ucapan kebencian, kemarahan, kedengkian, sehingga hal ini membuat masyarakat mKelimaenjadi takut dan resah.
Dan, dapat dibilang dukungan ulama-ulama, khususnya yang berlaga keras malah merugikan pada saat dimana pasangan Prabowo-Sandi dalam menggaet suara pemilih, alias menjadi blunder politik.
Sebab saat ini masyarakat sudah cerdas dalam hal memilih pemimpin, termasuk siapa pendukungnya. Isu agama sangat sedikit korelasinya dengan peningkatan elektabilitas Prabowo-Sandi saat pemiu 2019.
Kelima, pertemuan para elite politik belakangan seperti Surya Paloh, Nasdem bertemu Puan ini tidak lepas dari kondisi perpolitikan yang ada.
Bahwa Indonesia menganut pola pembentukan grand coalition, sebagaimana istilah literatur ilmu politik yang digagas Arend Lipjhart.
“Artinya, koalisi yang dibentuk melibatkan banyak partai di parlemen. Ini yang terbaca dari manuver elite politik saat ini. Walau banyak penentangan di internal koalisi. Karena hampir dipastian untuk membentuk pemerintahan yang kuat diperukan koalisi Grand Coalition, bisa jadi yang paling rajin menjalani komunikasi poliitik lah Koalisi Ingkit (KIB), yang akan diikuti parpol-parpol lain.
Keenam, Koalisi yang saat ini dibangun lebih cenderung kepada koalisi taktis dan koalisi strategis.
Koalisi taktis dibangun untuk tidak memenuhi kepentingan visi dan ideologi parpol yang bergabung dan tidak berdasarkan pada keseimbangan sehinga dominasi kekuasaan berada dan ditentukan oleh parpol besar sehingga motivasi koalisi sangat pragmatis.