Humanitarian Islam dan Peran NU Dalam Membangun Papua
Oleh: M Rifai Darus - Wakil Ketua PWNU PapuaMasa reformasi ’98, Indonesia memasuki masa transisi politik yang ditandai pula oleh maraknya konflik sosial-horisontal dengan latar pemicu yang beragam.
Entah konflik antar etnik hingga agama yang kompleks dan berkelindan dengan kepentingan politik.
Menyadari integrasi nasional dalam bahaya, Gus Dur mengubah pendekatan resolusi konflik, dari pendekatan represi menjadi mediasi (dialog)—dengan tetap menghormati keragaman pendapat serta menempatkan aspek kemanusiaan (martabat manusia) di atas segalanya. Termasuk mengupayakan perdamaian di Papua yang kala itu intensi konflik berpotensi terjadinya disintegrasi.
Melalui pendekatan dialog yang inklusif, humanis dan penuh empati, Gus Dur mendekati tokoh-tokoh adat dan simpul pergerakan di Papua, mendengarkan serta menyerap aspirasi mereka.
Selain mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua, Gus Dur pula yang memperjuangkan pengakuan identitas budaya, HAM dan keadilan bagi masyarakat Papua—termasuk menyiapkan kerangka otonomi khusus bagi Papua. Itu sebabnya, sosok Gus Dur begitu dicintai oleh masyarakat Papua dan dinobatkan sebagai “Bapak Perdamaian Papua.”
Perjuangan Gus Dur di Papua perlu dilanjutkan dan dikembangkan, terkhusus oleh elemen-elemen NU. Mengingat, tantangan di Papua teramat kompleks. Berbeda dengan demografi di Jawa atau daerah lain, Papua mempunyai keunikan tersendiri.
Penduduk Orang Asli Papua (OAP) masih menganut sistem adat yang teramat kompleks dan umumnya terikat dengan tanah leluhur di wilayahnya yang inheren dengan keragaman identitas budayanya.
Segregasi sosial berpotensi terjadi bila muncul perlakuan ketimpangan antara OAP dengan yang bukan OAP—atau mereka yang bermigrasi ke Papua.