ICJR Apresiasi Penundaan Eksekusi Putusan MA untuk Nuril
jpnn.com, JAKARTA - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengapresiasi penundaan eksekusi putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) terhadap terpidana Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Baiq Nuril oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
Direktur Eksekutif ICJR Anggara menjelaskan Kejagung, Senin (19/11), menyatakan pihak kejaksaan akan melakukan penundaan terhadap eksekusi Baiq Nuril hingga proses peninjauan kembali (PK) berakhir. Langkah ini diambil oleh Jaksa Agung Prasetyo setelah melihat respons masyarakat yang menuntut keadilan untuk Baiq Nuril.
“ICJR mengapresiasi Kejagung atas keputusan ini dan mengucapkan terima kasih karena Kejagung mau mendengarkan dan memberikan respons terhadap suara masyarakat sipil yang menuntut keadilan untuk Ibu Baiq Nuril,” kata Anggara dalam keterangan tertulisnya, Selasa (20/11).
ICJR berharap Kejagung dapat menjaga komitmennya untuk tidak melaksanakan eksekusi sampai kasus Baiq Nuril diputus di tingkat PK. Namun demikian, ICJR ingin mengingatkan bahwa proses PK ini akan sangat panjang dan akan memakan waktu lama.
Selama proses ini, ICJR menilai bahwa Baiq Nuril dan keluarganya masih akan berada dalam kondisi tekanan psikologis karena lamanya proses dan ketidakjelasan akan nasibnya. Maka dari itu, ICJR terus mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk dapat memberikan Baiq Nuril amnesti.
“Agar Ibu Baiq Nuril tidak perlu berada dalam kondisi ketidakpastian selama menunggu proses peninjauan kembali berakhir dan putusan PK keluar,” katanya.
Sebelumnya Presiden Jokowi sempat mengatakan bersedia mempertimbangkan pemberian grasi apabila PK ditolak oleh MA.
Menurut ICJR, pemberian grasi tidak tepat. Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi mengatur bahwa grasi hanya dapat dilakukan terhadap putusan pemidanaan berupa pidana mati, pidana seumur hidup, penjara paling rendah dua tahun. Sedangkan, Ibu Baiq Nuril hanya dijatuhi putusan pidana penjara selama enam bulan dan denda Rp 500 juta.