Ilhan Omar, Rasmus Paludan, dan Borok Demokrasi Barat
Oleh Dhimam Abror DjuraidAksi Rasmus Paludan membakar Al-Qur'an memiliki benang biru dengan kasus Ilhan Omar, yaitu standar ganda terhadap Islam. Seorang politikus yang membakar Al-Qur'an dianggap sebagai bagian dari kebebasan berbicara dan bertindak yang dijamin oleh demokrasi.
Akan tetapi, kalau ada seorang muslim yang membakar Kitab Taurat atau membakar bendera Israel, ia akan dituduh sebagai antisemitisme.
Aksi Paludan tidak berhenti meskipun mendapatkan kecaman luas dari dunia internasional. Ia malah menantang akan melakukan aksi pembakaran Al-Qur'an setiap Jumat sampai Turki menyetujui Swedia bergabung dengan NATO.
Aturan NATO mensyaratkan calon anggotanya harus mendapat persetujuan dari seluruh anggota. Sampai sekarang Turki tidak menyetujui rencana Swedia karena menganggap negeri di Skandinavia itu memberi perlindungan bagi aktivis anti-Turki.
Komunitas Yahudi dan Kristen di Turki telah bergabung dalam suara global yang mengutuk aksi Paludan. Adegan itu dianggap sebagai fasisme yang mengingatkan publik akan tindakan Nazi di bawah Adolf Hitler.
Kepala rabi Yahudi Turki, Ishak Haleva, mengecam insiden tersebut dan menekankan pentingnya menghormati keyakinan orang lain. Dia menggambarkan demonstrasi Paludan sebagai kejahatan, kebencian dan tindakan terorisme agama.
Ishak menegaskan kembali perlunya setiap orang untuk menghormati keyakinan dan budaya satu sama lain serta perlindungan melalui hukum.
Pemimpin spiritual Gereja Ortodoks Suryani Perawan Maria di Istanbul, Yusuf Çetin, juga mengecam keras tindakan Paludan. Menurutnya, mengizinkan tindakan seperti ini tidak dapat diterima di mana pun atas nama demokrasi atau kebebasan.