Impor Pangan Diprediksi Masih Membengkak
jpnn.com, JAKARTA - Ekonom Indef Bhima Yudistira memprediksi impor pangan pada 2019 masih membengkak. Khususnya impor gula, beras, daging sapi, dan gandum.
Salah satu penyebabnya ialah belum terintegrasinya data antarkementerian dan lembaga sehingga menjadi celah permainan impor pangan.
”Industri makanan dan minuman, kan, cenderung stagnan pertumbuhannya di 7–8 persen. Namun, impor gulanya naik signifikan. Untuk gandum, memang tidak diproduksi di Indonesia. Akan tetapi, untuk komoditas seperti beras, jagung, dan gula bisa diproduksi di Indonesia,” ujarnya.
Menurut Bhima, kurangnya insentif di sektor pertanian dan bantuan pertanian yang belum tepat sasaran, misalnya pupuk bersubsidi, akhirnya membuat impor pangan menjadi pembiaran selama bertahun-tahun.
”Di sisi lain, jika ada data yang akurat terkait permintaan riil industri mamin, tidak ada masalah jika melakukan impor pangan untuk bahan baku industri. Permasalahannya, selama ini data tidak faktual dan pengawasan terhadap importer kurang ketat,” jelas Bhima.
Sementara itu, pemerintah terus berupaya meningkatkan ekspor. Yang terbaru, pemerintah bakal mengurangi kewajiban penyertaan laporan surveyor (LS) untuk dua komoditas.
Yakni, minyak kelapa sawit (CPO) dan pipa gas. Hal itu dilakukan untuk mempermudah ekspor komoditas-komoditas tersebut.
Sebab, selama ini LS disertakan atas survei yang dilakukan lebih dari sekali oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (lembaga surveyor yang ditunjuk oleh negara mitra) dan lembaga surveyor yang ditunjuk Kementerian Perdagangan.