Indonesia Perlu Desain Baru Geopolitik Merespons Konflik dan Perang
Connie menambahkan bahwa untuk mengatasi persoalan geopolitik itu, negara kawasan dapat secara aktif mencari kerja sama alternatif termasuk pengaturan minilateral.
"Indonesia harus segera mengubah diri dari pendekatan reaktif-pasif defence untuk fokus menuju pendekatan offensive defence yang lebih dinamis, guna mendorong visi poros maritim dunia yang mampu menghadapi supremasi AUKUS yang akan muncul," papar Connie.
Dia mengatakan bahwa Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan harus segera duduk menyusun peta jalan baru politik luar negeri dan pertahanan menuju pencapaian target, untuk mengantisipasi risiko ancaman dari persaingan langsung postur dan proyeksi kekuatan di kawasan.
Sementara, Sukamta mengatakan politik bebas aktif yang dianut Indonesia harus bergerak pada visi yang jelas untuk national interest. Sebab, dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) belum ada national interest yang jelas.
Menurut Sukamta, negara lain di kawasan telah beralih pada high technology industry, sedangkan Indonesia masih fokus pada pembangunan infrastruktur tol dan saat ini Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
"Oke, untuk alasan pemerataan ekonomi, tetapi harus dihindari betul jika ini berbasis proyek untuk habis budget akibat kekurangan imajinasi," katanya.
Adapun Prof. Hikmahanto menyoroti geopolitik terkait trade war antara Tiongkok dan Amerika Serikat, plus perang Rusia dan Ukraina, serta Palestina vs Israel. "Amerika menceramahi dan mengajari kita tentang HAM dan demokrasi, tetapi mereka sendiri menerapkan standar ganda sesuai kepentingannya sendiri," kata Hikmahanto. (*/boy/jpnn)