Ingat, Rapid Test dan PCR Bukan untuk Dokumen Perjalanan
jpnn.com, JAKARTA - Strategi pemerintah melakukan tes COVID-19 melalui rapid test (tes cepat) dan polymerase chain reaction (PCR) dinilai tidak sejalan dengan Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) 413/2020, huruf E BAB IV, yang menyatakan penggunaan rapid test bukan untuk tujuan diagnostik.
Hal itu juga tidak sesuai rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyatakan penggunaan rapid test untuk tujuan penelitian epidemiologi atau penelitian terkini.
“Pengetesan yang tidak efisien juga menjadi salah satu penyebab meningkatnya angka kasus positif COVID-19. Walaupun fasilitas pengetesan semakin bertambah, baik oleh pemerintah maupun swasta secara mandiri. Namun Indonesia masih tergolong sebagai negara yang melakukan pengetesan terendah," tutur Endraswari Ening Sayekti perwakilan dari tim Heatltcare Bahar Law Firm dalam rekomendasinya yang dikutip Senin (24/8).
Tim Heatltcare Bahar Law Firm melakukan kajian tentang penanganan COVID-19 oleh pemerintah. Dari kajian tersebut terdapat sejumlah temuan dan diberikan beberapa rekomendasi untuk pemerintah.
“Selain itu, ada masalah lain dalam hal pengetesan yaitu kebijakan pengetesan rapid di beberapa provinsi dianggap inefisiensi karena banyaknya hasil pengetesan yang salah. Kami berharap masukan-masukan ini diperhatikan pemerintah agar penanganan COVID-19 ini makin solid,” kata Endraswari.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melalui KMK 413/2020 memberikan imbauan kepada masyarakat untuk tidak mengandalkan penggunaan rapid test.
Namun, imbauan ini tidak diimplementasikan mengingat hasil rapid test masih menjadi dokumen wajib yang dipersyaratkan untuk melakukan mobilitas penumpang perjalanan antar-provinsi.
Secara umum, lanjut Endraswari, apa yang diatur dalam KMK 413/2020 sudah menjawab berbagai masalah yang mereka sampaikan.