Intervensi ke BUMN Perlu Dikurangi Agar Tak Menyimpang
Ashoya menjelaskan bahwa dalam pengertian BUMN terdapat penghilangan kalimat “untuk mendapatkan keuntungan” dalam tujuan usaha BUMN. Perluasan pengertian BUMN tersebut juga meliputi penyertaan modal dari negara yang tidak dibatasi persentasenya.
“Konsekuensi dari tidak dibatasinya presentase kepemilikan adalah tidak mustahil dengan RUU BUMN, pihak swasta yang menguasai mayoritas saham atau modal dalam BUMN akan memanfaatkan perlakuan khusus yang diberikan oleh pemerintah bagi BUMN,” jelas Ashoya.
Ashoya kemudian menjelaskan implikasi lain, yaitu bahwa RUU BUMN tidak mensyaratkan penyertaan dari negara tersebut berasal dari APBN, jadi RUU BUMN sudah mengakui adanya BUMN walaupun penyertaan negara tersebut berasal dari non-anggaran.
“Hal ini tentu akan menambah banyaknya Badan Usaha yang digolongkan sebagai BUMN yang berdampak pada bertambah banyaknya BUMN yang perlu diawasi sesuai UU BUMN,” tambah Ashoya.
Selain itu, Ashoya Ratam yang merupakan alumni FHUI angkatan 91 yang kini sedang maju sebagai kandidat ketua ILUNI FHUI juga menyoroti perihal pentingnya RUU BUMN ini melakukan sinkronisasi dengan UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, mengingat banyaknya BUMN dalam bentuk persero.
Dalam hal ini di antaranya adalah tentang kedudukan RUPS yang dalam RUU tersebut justru kembali ke UU Nomor 1 Tahun 1995.
Ashoya juga menyoroti tentang pemilihan direktur utama dan Komisaris utama BUMN yang melalui fit and Proper Test yang akan dilakukan oleh DPR berpotensi menimbulkan hambatan ketika tidak ditegaskan bagaimana mekanismenya.
“Perlu pengaturan yang lebih tegas dalam hal rencana kerja dan anggaran tahunan perusahaan (RKAP) yang harusnya diatur sebelum berakhirnya tahun buku bukan pembahasan RKAP dilakukan pada tahun berjalan yang bersamaan dengan RUPS tahunan,” tutup Ashoya. (mg8/jpnn)