Irawati
Oleh Dahlan IskanMelewati monumen Pakistan. Gedung-gedung tua yang mestinya indah. Mahkamah tinggi. Museum-museum. Stasiun kereta. Pasar.
Jalan menuju sungai itu kini padat. Segala macam kendaraan ada: truk, bus, tuk-tuk, gerobak kuda, gerobak keledai, sepeda motor dan orang menyeberang. Semua berebut menimbulkan debu. Dan mengisapnya.
Akhirnya tibalah saya di pinggir sungai itu. Ada jembatan besar melintas di atasnya. Banyak kerbau berkeliaran di pinggir sungai. Banyak juga onta parkir bersama anak-anak mereka.
Lebih banyak lagi anak-anak manusia. Yang berlarian. Dengan pakaian kotor.
Kelihatannya mereka sudah satu minggu tidak mandi. Padahal ada pompa air tangan di situ. Saya mencobanya. Airnya keluar. Besar. Jernih. Namun mereka hanya menggunakannya untuk membersihkan lumpur di kaki.
"Kok mereka tidak sekolah?" tanya saya. Kebetulan ada wartawan Lahore yang lagi di situ. "Mereka miskin. Tidak punya biaya," jawab si wartawan.
Saya ditawari menyeberang sungai. Dengan perahu kecil. Lebarnya sama dengan Sungai Musi di Palembang. Di dekat jembatan Ampera.
"Kaisar Mongol pernah menyeberang di sini," ujar wartawan itu.