Jokowi & Batu Bara
Oleh: Dhimam Abror DjuraidDalam buku tipis ‘’Coalruption: Elite Politik dalam Pusaran Bisnis Batu Bara’’ (2018) Jatam mengungkap bahwa bisnis batu bara menjadi salah satu sumber utama pendanaan politik Indonesia, mulai dari level daerah sampai ke level tertinggi nasional.
Pemain kunci di industri batu bara memainkan peranan penting dalam pemilihan presiden 2019. Hal yang sama terjadi di tingkat provinsi dan kabupaten. Para kandidat mencari sumber pendanaan kampanye yang mahal kepada para pengusaha tambang.
KPK dan organisasi masyarakat sipil mencatat adanya kenaikan tajam jumlah izin pertambangan saat kampanye pilkada, atau segera setelah pilkada selesai.
Kebutuhan terhadap modal politik yang besar, keterkaitan erat dengan peraturan pemerintah, adanya royalti dan pajak, serta ketergantungan terhadap infrastuktur pemerintah untuk mengirimkan batu bara ke pasar, menjadikan sektor ini terpapar korupsi politik akut.
Perusahaan pertambangan batu bara harus berurusan dengan pejabat publik, dan hal ini mendorong terjadinya perselingkuhan antara perusahaan, birokrat, dan politisi. Perselingkuhan seperti ini terjadi di level daerah sampai ke level pusat.
Para elite politik itu menyatukan kepentingan bisnis dengan kepentingan politik. Nama-nama elite yang disebut adalah ARB yang mempunyai perusahaan batu bara BR dan menjadi elite parpol anggota koalisi. Ada juga PS yang mempunyai grup bisnis N dan juga menjadi salah satu pemimpin partai anggota koalisi.
Terdapat elite politik dengan konflik kepentingan yang besar di bisnis ini. Mereka disebut sebagai politically-exposed persons (PEP) karena ada konflik kepentingan dan ada kemungkinan melakukan abuse of power dengan cara dagang pengaruh.
Menteri L tercatat sebagai pemegang saham PT TS. Perusahaan ini memiliki sejumlah anak perusahaan yang terlibat dalam pertambangan batubara dan PLTU. Beberapa elite lain terhubungkan dengan kelompok bisnis ini, termasuk anggota keluarga L, mantan menteri, pejabat tinggi, dan pensiunan jenderal.