Jokowi & Batu Bara
Oleh: Dhimam Abror DjuraidDalam menyatukan bisnis dan politik di sektor batu bara, L menggunakan struktur lama oligarki politik, yaitu istana kepresidenan, militer, dan partai politik. Dia juga menggunakan lanskap baru yaitu desentralisasi dengan bekerja sama dengan elite dan penguasa lokal.
Di partai politik L terkoneksi dengan ARB dan beberapa kadernya. Belakangan ini kader-kader partai itu ditangkap KPK karena kasus korupsi lain. Dia adalah IM yang ditangkap ketika sedang menjabat sebagai menteri sosial, dan AS wakil ketua DPR yang sekarang tengah diadili karena kasus suap anggaran di Lampung.
Selain itu ada nama-nama elite politik daerah yaitu bapak dan anak mendiang Syaukani Hasan Rais, dan Rita Widyasari. Bapak dan anak ini sama-sama terjerat kasus korupsi, dan sang anak sekarang masih mendekam di penjara.
Hukum di Indonesia mewajibkan sebuah perusahaan untuk mengungkapkan pemilik sah perusahaan untuk didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM. Namun, para elite yang masuk dalam kategori ‘’pemilik manfaat’’ atau ‘’benifical owner’’ itu sering tidak dimunculkan namanya, padahal mereka adalah pemain utama di balik bisnis itu.
Sebelum era reformasi 1999, peraturan dan izin pertambangan dikelola oleh pemerintah pusat. Setelah pelaksanaan desentralisasi, politisi di daerah mendapatkan kekuasaan yang lebih besar untuk mengelola sumber daya alam di wilayah mereka.
Elite politik di daerah memiliki kekuasaan untuk menerbitkan izin pertambangan dan hal itu dimanfaatkan sebagai sumber pendanaan politik yang penting.
Indikator jual beli izin tambang itu bisa dilihat dari kenaikan tajam jumlah izin yang dikeluarkan pemerintah daerah. Sejak 1999 sampai 2001 tercatat 750 izin yang dikeluarkan. Dalam tempo sepuluh tahun sampai 2010 terdapat lebih dari sepuluh ribu izin baru yang dikeluarkan.
Ini merupakan kenaikan 13 kali lipat. Separuh di antara izin tambang itu adalah izin tambang batu bara.