Jokowi Masih 24 Karat Atau Sekarat?
Oleh: Dhimam Abror DjuraidMasyarakat menderita penyakit daya ingat pendek, sehingga dosa-dosa politik Golkar di masa lalu terlupakan total. Golkar menjelma menjadi partai baru yang dengan cepat meloncat menjadi penumpang gerbong reformasi.
Partai Golkar punya jargon ‘’Suara Golkar Suara Rakyat’’, jadi suara Golkar identik dengan suara rakyat. Entah sengaja atau tidak, jargon ini mengadopsi ungkapan demokrasi yang kondang ‘’vox populi vox dei’’, yang artinya suara rakyat suara Tuhan.
Demokrasi adalah suara kedaulatan rakyat yang merupakan representasi dari Tuhan di bumi, karena itu suara rakyat adalah suara Tuhan.
Namun, jargon Golkar terbalik-balik. Suara Golkar adalah suara rakyat. Bukan suara rakyat suara Golkar. Rakyat yang harus ikut suara Golkar, bukan sebaliknya.
Karena itu ketika Ketua Partai Golkar Airlangga Hartarto menyuarakan gagasan penundaan pemilu selama dua tahun, dia mengeklaimnya sebagai suara para petani di Sumatra. Pernyataan Golkar ini kontan memicu reaksi negatif dari banyak kalangan.
Golkar, bersama PAN (Partai Amanat Nasional) dan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dianggap telah mencoreng amanat reformasi.
Publik akan menilai seberapa kadar demokrasi dari ketiga partai itu, apakah masih 24 karat atau sudah merosot sampai sekarat alias satu karat. Para pundit politik menyerukan supaya rakyat menghukum tiga partai itu dalam pemilu dengan tidak memilih mereka, supaya mereka menjadi sekarat.
Suara orkestrasi itu disebut-sebut bersumber dari lingkaran dalam Joko Widodo di Istana. Lingkaran Istana sudah membantah hal itu, tetapi pernyataan politik Jokowi yang bersayap membuat kecurigaan itu makin kuat.