Junaidi Membuat Paving dan Batako dari Limbah Tahu Tempe, Awalnya Dicibir
"Jadi banjir tempo lalu itu, diakibatkan oleh sampah yang menumpuk, serta endapan limbah tahu tempe yang berada di sungai tersebut. Ketika saya kecil dulu, sungai itu masih bening, bersih, bahkan terlihat dalam. Coba lihat kondisinya sekarang, sangat jauh dari bening, dan dalam," keluhnya.
Padahal, kata Junaidi, industri tahu tempe di Kekalik dimulai pada tahun 60-70an. Sudah sangat lama.
"Seharusnya para pengusaha tahu ini jadi bos sekarang, tapi kok dari dulu hingga sekarang seperti itu saja, bahkan kini justru limbah mereka dibuang begitu saja di kali,” sindirnya.
Ia kemudian mencoba mencari jalan keluar agar wilayahnya itu, bisa terbebas dari sampah, kekumuhan, dan banjir yang sering melanda.
"Beberapa bulan lalu, setelah banjirnya surut, saya mulai berfikir, limbah tahu yang dibuang warga itu, apa bisa dimanfaatkan untuk hal lainnya, tanpa harus dibuang di sungai. Kebetulan, ketika saya sedang mencari ide, salah satu warga, ada yang berkata, kalau limbah tahu itu, sebenarnya bisa dijadikan batako,” tuturnya.
Dengan bantuan ide salah satu warga itulah, Junaidi mulai browsing di internet, untuk mencari informasi, limbah tahu bisa dijadikan apa. Ia juga mulai coba-coba untuk mencari limbah tahu di pabrik tahu dekat rumah.
"Awalnya, saya berbohong pada mereka, saya bilang, tahu yang saya sambil itu, untuk saya jadikan bahan pencuci piring. Karena sebelumnya, limbah tahu bisa dijadikan sebagai serbuk pencuci piring di kampung-kampung,” ujarnya.
Dengan bantuan dua temannya, Junaidi p diberi dua karung penuh, berisikan limbah tahu yang akan ia gunakan sebagai bahan uji coba untuk membuat batako.