Jurnalisme Tuyul
Oleh: Dhimam Abror DjuraidMasuknya modal besar ke industri media pada era 1980-an menandai munculnya era industrialisasi media. Hal itu ditandai dengan ekspansi koran besar yang agresif ke berbagai daerah melalui teknologi cetak jarak jauh (remote printing).
Dengan teknologi ini proses spasialisasi terjadi karena kendala jarak dan waktu bisa diatasi. Perusahaan media di Jakarta atau Surabaya bisa menginstal teknologi cetak jarak jauh dan pada saat bersamaan bisa mencetak edisi yang sama di ujung Aceh sampai ke pucuk Papua.
Muncullah era baru konglomerasi pers. Perusahaan-perusahaan media di daerah, yang semula menjadi tuan rumah di daerahnya sendiri, pelan-pelan tergusur oleh kehadiran media besar dari kota.
Media lokal tidak mampu menyaingi media besar dalam hal manajemen media, permodalan, teknologi, dan kualitas sumber daya manusia. Media daerah menghadapi dilema simalakama.
Pilihannya adalah menyerah dengan melakukan merger dengan media besar, atau mati tergusur karena tidak bisa bertahan melawan media besar. Media daerah umumnya memilih pilihan kedua, bergabung menjadi bagian dari konglomerasi media besar.
Reformasi 1998 membawa perubahan dramatis dalam lanskap media di Indonesia. Sistem media berubah total dari sistem otoritarian menuju sistem libertarian yang ditandai dengan munculnya fundamentalisme pasar dengan kecenderungan komodifikasi yang sangat kuat.
Era reformasi yang seharusnya menjadi era kebebasan pers daerah justru menjadi era tumbuh suburnya konglomerasi media nasional. Kediktatoran politik Orde Baru yang mengekang kebebasan media seharusnya hilang dengan lahirnya reformasi.
Media seharusnya lebih bebas dan lebih independen karena ancaman kekuasaan (political dictatorism) sudah hilang. Namun, ibarat lepas dari mulut harimau lalu masuk mulut buaya. Alih-alih memperoleh kebebasan, ternyata media jatuh ke penguasaan diktator baru, yaitu market dictatorism, dan diktator pasar.