Jurnalisme Tuyul
Oleh: Dhimam Abror DjuraidLogika pasar--yang selalu mengejar akumulasi dan penumpukan modal--mengalahkan idealisme jurnalistik. Perusahaan media berlomba-lomba untuk terus-menerus memperluas konglomerasinya jauh melampaui bisnis media.
Perusahaan konglomerasi media terus berpacu dan berlomba dalam (mengutip Deddy N. Hidayat) ‘’never ending circuit of capital accumulation’’ penimbunan modal yang tidak ada ujungnya.
Dengan terhapusnya persyaratan perizinan pendirian media, kelompok media besar makin leluasa melakukan ekspansi konglomerasi ke berbagai daerah. Lahirlah dua kelompok konglomerasi media terbesar yaitu Kompas-Gramedia dan Jawa Pos Group, yang masing-masing mempunyai ratusan media di berbagai wilayah kabupaten-kota di seantero Indonesia.
Revolusi teknologi digital meluas di Indonesia pada awal 2010 ditandai dengan diperkenalkannya smartphone. Pola baca dan konsumsi informasi masyarakat mengalami revolusi total, dari awalnya mengonsumsi koran setiap pagi berubah menjadi gajet setiap saat.
Media cetak mengalami kejatuhan yang dramatis ditandai dengan hancurnya oplah karena pelanggan berhenti berlangganan koran. Pada saat bersamaan pemasukan dari iklan yang menjadi napas utama perusahaan media juga mengalami penurunan yang sangat dramatis.
Perolehan iklan media cetak mengalami kemerosotan sampai 90 persen dan bahkan lebih.
Era digital yang lebih demokratis seharusnya memberi peluang kepada non-konglomerasi untuk lebih bisa bersaing dengan media konglomerasi karena dunia digital memberikan lapangan yang rata dan datar (level playing field) yang memungkinkan persaingan yang lebih terbuka.
Namun, hukum besi media tetap terjadi, dan era digital yang seharusnya memberi kesempatan kepada media-media non-mainstream untuk lebih berkembang ternyata tidak terjadi.