Jurnalisme Tuyul
Oleh: Dhimam Abror DjuraidKonglomerasi cetak yang praktis sudah mati, ternyata dengan cepat bisa merevitalisasi dirinya dan langsung bertransformasi menjadi konglomerasi media digital.
Kelompok konglomerasi media lama masih tetap menguasai persaingan media digital. Di dunia broadcast muncul pemain-pemain baru yang langsung menjadi raksasa konglomerat yang menguasai jaringan televisi nasional dan lokal.
Mereka berasal dari kelompok konglomerasi non-media yang kemudian melakukan ekspansi masuk ke bisnis media. Di masa Orde Baru, pola konglomerasi media berkembang dari bisnis media ke bisnis nonmedia seperti yang dilakukan Jawa Pos Group dan Kompas Gramedia. Di era digital pola konglomerasi berbalik dari nonmedia masuk ke bisnis media.
Secara teoritis demokrasi media akan terwujud dengan lahirnya era digital. Media juga seharusnya lebih independen dan kritis karena tidak lagi harus menggantungkan perolehan iklan dari sumber-sumber pemerintahan.
Di era digital sumber pendapatan (revenue stream) seharusnya lebih terbuka. Pendapatan dari iklan-iklan digital seperti programmatic ads, adsense, dan Google ads, bisa menjadi alternatif pemasukan iklan yang bisa membuat media lebih independen.
Kenyataannya, sumber pendapatan digital masih banyak menghadapi masalah karena munculnya news aggregator yang menyedot berbagai berita dari media tanpa memberikan kompensasi pembayaran. Namun, lepas dari itu, iklan programatik yang dikelola secara profesional akan bisa menjadi alternative revenue yang menarik untuk perusahaan media.
Dunia media di Indonesia sedang mengalami ‘’cultural shock’’ atau gegar budaya hebat akibat revolusi digital. Nilai-nilai utama jurnalisme ‘’journalism grand values’’ terkikis oleh arus ‘’jurnalisme SEO’’ yang tunduk pada mekanisme search engine optimation.
Kini muncul mazhab jurnalisme baru yang disebut sebagai ‘’SEO journalism’’, jurnalisme yang berbasis pada mesin pencari.