Kala Happy Salma dan Widi Mulia Membedah Sajak Bung Karno
“Kita diprocotkan tidak di langit, tidak di laut,
Tapi diprocotkan di tanah air ini,
Yang dari tanah air inilah kita, saudara-saudara, dapat makanan dan minuman,
Yang dari tanah air inilah kita menghirup hawanya yang segar,
Tanah airlah tempat kita dari masih bayi merah itu
tumbuh menjadi manusia yang dewasa sekarang,
Hai manusia,
Cintailah Tuhan yang dulu mengantongi engkau.
Cintailah Ibu Bapakmu, dapur yang dibuat Tuhan untuk menggumelarkan engkau,
Cintailah tanah air yang di tempat itu engkau dapat minum, makan dan lain sebagainya…”
Menurut Widi, puisi ini menggambarkan kejenakaan sekaligus jiwa penuh kasih Bung Karno.
“Bung Karno menceritakan konsep kehidupan secara menyeluruh, tapi amat sederhana. Ada kata-kata ‘gumelar’, lalu ada kata ‘procot’. Beliau memang seorang seniman sejati. Lugas tapi tetap terasa pantas dan ringan,” kata perempuan kelahiran Jakarta, 42 tahun lalu itu.
Bersama kemudian mereka bertiga membacakan puisi kondang Bung Karno lain: ‘Putra Sang Fajar’, dicuplik dari buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”, hlm. 24, 25, 26.
“…. Karena aku terdiri dari dua belahan
aku dapat memperlihatkan segala rupa
aku dapat mengerti segala pihak
aku memimpin semua orang
boleh jadi ini secara kebetulan bersamaan
boleh jadi juga pertanda lain.
Akan tetapi kedua belahan dari watakku itu
menjadikanku seorang yang merangkul semuanya….”
Garda menafsirkan, bahwa puisi ‘Putra Sang Fajar’ sangat menggambarkan kepribadian diri Bung Karno.
“Dari sini ada pesan yang ditempelkan bahwa Bung Karno lahir di tanah Indonesia, dikelilingi keluarga terkasih orang Indonesia, hidup di lintasan sejarah Indonesia, dan tentu cinta kepada bangsa Indonesia," kata Garda.