Kambing Gemuk
Oleh: Dahlan IskanSebelum Malangbong saya lihat ada masjid kecil yang halamannya luas. Juga terlihat bersih. Suara bacaan Qur'an menjelang magribnya keras, lewat pengeras suara.
Kesan saya: masjid itu ramai. Banyak yang bersiap berbuka bersama.
Sejak Nagrek tadi hujan turun renyai-renyai. Jenis hujan yang akan awet. Kami mampir masjid itu. Saya ambil air wudu. Sendirian. Sopir mencari tempat parkir.
Habis wudu saya masuk masjid. Celingukan. Tidak ada satu pun orang. Bacaan Qur'an yang keras tadi ternyata dari rekaman yang berbunyi otomatis. Jadi, kalau suara dari pengeras suara dilarang, yang akan marah hanya rekaman itu.
Sampai saatnya berbuka puasa bacaan Qur'annya masih belum berganti azan. Saya kembali melihat layar HP. Sudah waktunya berbuka. Saya pun minum air putih tanpa menunggu rekaman azan. Satu botol. Lalu minum obat. Yakni obat yang terkait dengan transplantasi hati saya 18 tahun lalu.
Saya pun salat magrib sendirian. Lalu menuju mobil. Barulah azan magrib terdengar bergema dari masjid. Pak sopir pilih percaya pada pengeras suara otomatis itu.
Hujan masih renyai-renyai. Kami meneruskan perjalanan ke arah Tasik.
Saya nyaris hafal lika-liku jalur Nagrek-Ciawi-Tasik-Ciamis. Sering ke wilayah ini. Dulu. Termasuk tidur di desa Cibiyuk. Di rumah penduduk. Merasakan aslinya sambal Cibiyuk yang terkenal itu.
Begitu hujan tidak berhenti juga, saya tidak terlalu berharap bisa bergabung di sate.
Ternyata malam itu lancar sekali. Mungkin doa istri saya terlalu kuat. Sekuat aroma sate yang memanggil-manggil hidung lapar.