'Kami Reuni di Kamar Jenazah...'
Selain itu, selama bertugas, tim odontologi harus berjauhan dengan keluarga dalam waktu yang tidak terbatas. Tidak jarang, rasa kangen keluarga menyergap. Sebab, ada dokter yang meninggalkan istrinya yang tengah hamil. Dotty pun harus rela berpisah dengan anaknya yang masih berusia dua tahun.
Tim juga selalu berupaya menghindari ego pribadi dan menjaga chemistry antaranggota. Pasalnya, mereka berasal dari banyak institusi. Meski semua memiliki basic dokter gigi, kompetensinya berbeda. Ada yang ahli forensik, radiologi, dan anatomi.
Kesulitan muncul saat mereka mengumpulkan data antemortem. Yakni, data rekam gigi dari korban semasa hidup. Data itu berupa dental record, cetakan gigi, foto rontgen, atau bahkan video perawatan gigi pasien. Proses terberat, tim antemortem harus menemui keluarga korban. Mereka harus berhati-hati karena emosi keluarga belum stabil.
Bukan hanya itu. Sebab, penelusuran tidak hanya sampai pada kerabat korban. Tapi, juga teman dan dokter gigi tempat korban pernah memeriksakan diri. ”Kerjanya sudah seperti detektif,” ungkap Dotty.
Bahkan, untuk meyakinkan, tim melacak media sosial korban. Tujuannya, melihat foto korban saat tersenyum. Dotty menyebut, foto selfie pun bisa menjadi alat identifikasi. ”Jadi, kalau mau selfie yang bermanfaat, tunjukkan gigi saat foto,” ujar Dotty sembari tertawa.
Dotty menambahkan, pekerjaan identifikasi korban kecelakaan seperti kasus AirAsia QZ8501 bisa menjadi momen reuni dengan teman seprofesi se-Indonesia. Sebab, selama ini mereka baru bisa bertemu saat ada kasus besar.
”Kalau yang lain reuni di restoran, kami reuni di kamar jenazah. Meski up and down, tapi tetap saling support. Kami juga harus sersan, serius tapi santai. Psikologis harus dijaga. Ikhlas dan tidak mengeluh. Niatnya juga lurus,” ujarnya.
Menurut Dotty, selama ini banyak yang meragukan hasil identifikasi jenazah melalui gigi. Kebanyakan masyarakat lebih percaya hasil tes DNA. Padahal, data gigi terbukti tidak meleset.